Part 36

1.5K 201 28
                                    

Malamnya, mereka menikmati indahnya Sungai Thames di sebuah café yang menyediakan live music di tepi sungai. Café itu pilihan Alaska. Memang, Alaska belum pernah ke situ sebelumnya. Alaska hanya baca di internet, katanya café itu menyediakan view yang indah, serta suasana yang menyenangkan.

Dan benar saja.

Mereka duduk di kursi untuk dua orang di dekat jendela. Alaska dan Kyle sama-sama memesan menu sarapan—kalau Alaska wafel dan teh, sementara Kyle panekuk dan kopi.

Alaska diam-diam mengagumi suasana café yang cozy. Alaska hampir-hampir merasakan ia tengah berada di Amerika pada tahun 70-an. Selain karena musik-musik rock tahun 70-80an yang diputar di stereo besar di sudut ruangan, hampir semua perabot di sana terlihat seperti sesuatu yang sudah berumur puluhan tahun.

"Sepertinya kita harus sering-sering ke sini," gumam Kyle.

Alaska mengangguk senang. "Kapanpun aku butuh sarapan di malam hari, ini bakal menjadi tempat pertama yang aku datangi."

Itu adalah keunikan lain café ini. Café ini hanya menyediakan menu sarapan. Mereka buka 24 jam, tapi kau hanya akan menemukan wafel atau panekuk atau sereal atau salad, kalau beruntung, mungkin sup atau sandwich alpukat pada jam-jam malam seperti ini.

"Kyle," panggil Alaska.

"Mm?"

"Kau ingin membicarakan tentang itu?"

Raut wajah Kyle terlihat dengan jelas langsung berubah. "Maksudmu, kau ingin menghancurkan suasana dan mood-ku yang sudah dua kali lipat membaik dari siang ini?" tanyanya. Walaupun kata-katanya sinis, suaranya tetap tenang. "Kalau kau ingin, aku mau-mau saja."

Alaska menggerutu. "Tidak jadi."

Tanpa diduga-duga, Kyle malah tersenyum halus. "Kalau kau mau membicarakannya, bicarakan saja," katanya. "Lagipula, cepat atau lambat, kita memang harus membicarakannya. Kita tidak bisa menunda selamanya."

Walaupun begitu, Alaska harap mereka bisa.

"Oke," Alaska mengangguk. "Mulai dari mana?"

"Dari aku ini kakakmu?"

Alaska menarik napas dalam-dalam. "Oke, jadi kau ini kakakku. Aku adikmu, dan kita memiliki ayah dan ibu yang sama. Ayahmu adalah Zayn—ayahku juga, dan ibumu adalah Katya—ibuku juga. Benar begitu?"

Kyle terlihat ingin muntah, tapi dia mengangguk.

"Karena kau kakakku, artinya ada hal-hal yang seharusnya kau lakukan, dan ada hal-hal yang seharusnya tidak kau lakukan. Benar begitu?"

Kyle terdiam. "Apa saja yang seharusnya tidak aku lakukan?"

"Banyak," jawab Alaska cepat.

"Banyak?"

Alaska mengangguk mantap. "Salah satunya, jangan menatapku seperti itu."

Kyle mengerjapkan matanya. "Seperti apa?"

"Seperti..." Seperti tidak ada yang penting selain aku. "Seperti tidak ada yang bisa kau perhatikan selain aku."

Kyle tertawa. "Tapi, itu memang benar."

Alaska berusaha keras mengabaikannya. "Lalu yang kedua....hmm, biar kupikir." Alaska sebenarnya tidak perlu berpikir. Ia sudah punya semua listnya di otaknya. "Jangan menciumku."

"Sulit," kata Kyle langsung, "tapi, bakal kucoba."

Pipi Alaska pasti memerah. "Lalu yang terakhir—sebenarnya bukan yang terakhir, sih, tapi baru ini yang kuingat," Alaska menyeringai sebelum senyumnya lenyap dan mimiknya berubah serius. "Jangan bilang kau sayang padaku."

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang