Damon menatap pantulan dirinya di cermin. Jas hitam, kemeja putih, celana bahan hitam panjang, sepatu hitam. Hanya kurang dasi, karena Damon benar-benar lupa dimana ia meletakkan dasi itu semalam. Dan sudah tidak ada waktu untuk mencarinya.
Setelah memastikan rambutnya tidak terlalu acak-acakan, Damon turun ke lantai satu. Di bawah, ibunya sedang duduk di sofa ruang tengah.
"Mana dasimu?" Adalah kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya.
Damon meringis. "Aku menghilangkannya."
Ibunya kemudian bangkit dari sofa dan berjalan ke arah Damon. Ia memegang lengan Damon, lalu menyisir rambut Damon dengan tangannya.
"Kau terlihat—"
"Jangan. Jangan bilang aku terlihat seperti dia."
Ibunya menghela napas. "Aku tadinya ingin bilang kau terlihat tampan," katanya sembari tersenyum. "Ya, sudah. Sepertinya kau bakal terlambat kalau tidak buru-buru. Untung saja rumah Alaska di sebelah."
Damon menyeringai. "Aku pergi dulu."
"Oke."
Damon mencium pipi ibunya sebelum berjalan keluar rumah. Ia mengeluarkan mobilnya, memarkirnya di trotoar depan, sebelum membuka pagar rumah Alaska dan mengetuk pintu.
Alaska membukakan pintu lebih cepat dari yang Damon bisa bayangkan. Damon mengira Alaska masih duduk di depan meja rias, entah sedang membenarkan bubuhan make-up nya atau membenarkan tatanan rambutnya. Tapi kalau dipikir-pikir, itu nyaris mustahil.
Alaska cantik sekali. Ia memakai dress panjang berwarna biru dongker, yang sepertinya bukan model tahun ini. Rambutnya dibiarkan tergerai tanpa hiasan apa-apa. Alaska juga memakai sedikit sentuhan make-up.
"Mana dasimu?" Juga adalah kata-kata pertama yang keluar dari mulut Alaska.
"Aku menghilangkannya."
"Serius, Damon? Di acara sepenting ini?" Alaska menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tunggu disini. Aku yakin ayahku punya dasi."
Alaska lalu menghilang di balik pintu. Damon bersandar pada kusen pintu sembari mengetukkan kakinya ke lantai. Tidak lama kemudian, Alaska kembali sembari membawa sebuah dasi hitam.
"Kau tahu cara memakai dasi?" tanyanya.
Damon menggeleng.
"Apa, sih, yang kau tahu?" Alaska menaikkan kerah kemeja Damon sembari menggerutu, kemudian memasangkan dasi itu dengan telaten, seolah-olah Alaska sudah biasa melakukannya. Damon memperhatikannya dengan senyum. "Nah, sudah."
"Kau cantik," kata Damon.
Alaska melihat gaunnya. "Ya, terima kasih kepada satu-satunya gaun milik ibuku yang muat denganku," katanya. Ia lalu mengerutkan dahi ketika melihat rambut Damon. "Tidak sisiran?"
Damon menggeleng.
Alaska lalu mengacak-acak rambut Damon. "Nah, lebih baik begitu. Cewek-cewek pasti jadi ingin menciummu," katanya sembari menyeringai. "Ayo, kita terlambat."
***
Isabelle melihat dodge hitam Kyle menepi setelah ia menunggu selama 5 menit. Lalu keluarlah Kyle, dengan kemeja biru dongker, celana hitam, dan sepatu hitam. Ia tidak memakai jas, dan tidak memakai dasi.
Sebelum Kyle sempat mengetuk pintu, Isabelle sudah membukakannya.
"Mana jasmu?" tanyanya langsung.
"Di mobil."
"Oke." Isabelle mengunci pintu rumahnya, kemudian memasukkan kunci ke dompetnya. Ia menggandeng lengan Kyle, dan walaupun Kyle tampak tidak suka, Kyle tidak mengatakan apa-apa. "Ayo."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...