Banyak hal terjadi dalam kurun waktu tiga bulan.
Musim dingin berganti dengan musim semi. Udara dingin berganti menjadi udara sejuk. Salju berganti menjadi rerumputan hijau yang membuat kita ingin bersantai di bukaan sembari menatap langit siang yang cerah.
Tapi, tiga bulan tidak bisa menutupi rasa kehilangan Alaska. Sebuah luka tak kasat mata masih menganga di tengah rongga dadanya. Alaska masih merasa sedih setiap ia mengingat Kyle, setiap ia mengucap namanya, setiap memori yang mengingatkan Alaska padanya.
Kyle tidak lagi hidup, tapi Kyle selalu nampak pada bayang-bayangnya. Kadang-kadang, itu adalah hal yang baik. Tapi, kadang-kadang, itu malah terasa sangat menyakitkan.
Hari itu Sabtu. Alaska selalu menginap di Haggerston tiap Jumat sore, dan pulang Sabtu sore. Atau Minggu pagi. Atau tidak pulang sama sekali.
Alaska bangun pagi-pagi sekali, lalu ia lari pagi mengitari Haggerston Park yang masih sepi. Pulangnya, ia mampir ke sebuah mini market untuk membeli bahan-bahan untuk sarapan. Lalu Alaska naik ke flat Kyle dan membuat sarapan untuk dirinya sendiri.
Saat itu jam 10 pagi ketika Alaska mendengar ketukan di pintu flat Kyle.
Sekujur tubuh Alaska menegang. Ia bahkan menjatuhkan gelas yang tengah dipegangnya, menyebabkan gelas itu pecah ketika menghantam lantai, tepat di sebelah kakinya. Alaska terkesiap, setengah karena kaget, setengah lagi karena pecahan gelas menggores ibu jarinya.
"Sebentar," kata Alaska.
Alaska membiarkan gelas yang pecah itu di tempatnya semula. Alaska bahkan membiarkan ibu jarinya terluka tanpa membersihkannya terlebih dahulu. Suara ketukan di pintu itu bagai menyihirnya. Alaska berharap.....Alaska berharap sekali kalau itu adalah......
Kyle.
Lalu Alaska membuka pintu.
"Hei," sapa orang di hadapannya.
Jelas saja dia bukan Kyle.
"Siapa kau?" tanya Alaska langsung. Sepertinya kekecewaan yang besar telah membuat sopan santunnya hilang.
Laki-laki yang memiliki rambut pirang pasir itu menggaruk tengkuknya. "Namaku, uh, Theodore Jordan."
"Sersan Jordan," gumam Alaska tanpa sadar.
Dia tersenyum samar. "Sudah bukan Sersan lagi."
Alaska tidak mengerti, tapi ia mengangguk-angguk. "Ada perlu apa kau ke sini?" tanyanya. "Bagaimana kau bisa tahu alamat Kyle?"
Ketika Alaska bertanya soal itu, wajah Sersan Jordan—Theo—Jordan—siapapun namanya, berubah menjadi tidak enak lagi.
"Kau tentu sudah dengar bahwa Kyle..." dia tidak perlu melanjutkan kata-katanya untuk membuat Alaska mengerti. Ketika Alaska mengangguk, dia melanjutkan, "dan, uh, aku tidak bisa memberikan ini kepadamu lebih awal karena aku tidak diizinkan kembali lebih awal saat dia meninggal."
"Memberikan apa?"
Theo memberikan secarik kertas lusuh kepada Alaska. "Aku menemukannya di kantong jaketnya ketika dia dirawat di bilik perawatan," katanya. "Dan aku tahu alamat ini, karena aku melihat alamat di belakang amplop surat yang kau kirimkan kepadanya terakhir kali."
Alaska menegang. "Kau membacanya?"
Theo mengangguk. "Maaf karena aku lancang," gumamnya. "Saat itu Kyle sudah koma, jadi dia tidak bisa membacanya sendiri. Kupikir kalau aku membacakan surat itu untuknya.....entahlah. Kupikir, aku bisa memberikan sedikit harapan untuk bertahan."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...