Part 46

1.4K 211 37
                                    

Dua hari kemudian, mereka berangkat ke Bradford.

Kyle menolak untuk naik kereta, apalagi naik pesawat. Alhasil, mereka ke Bradford naik dodge milik Kyle—bukan yang hitam, tapi yang hijau yang diberikan ayah mereka—dan Kyle yang menyetir. Awalnya Alaska tidak mengizinkan Kyle menyetir karena takut Kyle membentur stir lagi dan patah tulangnya akan semakin mengkhawatirkan, tetapi Kyle tidak mau dengar.

Setelah 10 jam perjalanan dan Kyle sudah menyetir tanpa berhenti, mereka sampai di Bradford. Mereka langsung disambut oleh nenek Trisha dengan sangat ramah. Alaska menduga ayahnya sudah menceritakan semua detail mengenai Kyle, sehingga nenek dan kakeknya tidak kaget ketika melihat Kyle.

"Halo, Kyle," begitu sapa neneknya. "Namaku Trisha. Dan ini Yaser."

Kyle tersenyum ramah. "Hai."

Karena ketika mereka sampai hari sudah sangat larut, neneknya langsung menyuruh mereka untuk bersih-bersih dan tidur, karena besok mereka akan diajak jalan-jalan keliling Bradford.

Alaska sangat menyukai rumah neneknya di Bradford. Sewaktu kecil, ayahnya jarang mengajaknya ke sini karena ayahnya selalu sibuk hampir setiap saat, jadi mereka tidak bisa melakukan perjalanan jauh dari London ke Bradford.

Bradford sangat bersih dan asri. Udaranya juga jauh lebih dingin daripada London. Apalagi sekarang sudah hampir memasuki musim dingin.

Setiap ke Bradford, Alaska selalu tidur di kamar ayahnya. Kakek dan neneknya tidak pernah mengganti apa-apa dari kamar ayahnya—paling hanya lampu, dan seprainya sesekali. Jadi kamar ayahnya masih sama seperti yang ayahnya tinggalkan ketika ayahnya masuk akademi Chelsea dulu.

Ayahnya memiliki sebuah rak besar yang isinya buku, tetapi sebagian besar diisi piala dan foto-foto. Alaska mengenali foto ketika ayahnya berumur dua belas. Ada juga fotonya ketika ayahnya menang sebuah kejuaraan sepak bola. Dan yang lainnya.

"Hei," Alaska mendengar suara Kyle dibalik pintu kamar ayahnya yang terbuka sedikit. "Kau tidak sedang, uh, berganti baju, kan?"

Alaska tertawa. "Tidak."

"Oke."

Kyle lalu melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. Selama beberapa saat ia hanya berdiri membelakangi pintu, matanya menelaah setiap sudut di kamar ayahnya itu. Ia lalu menatap Alaska dengan kening berkerut. "Ini kamar dad?"

Alaska mengangguk. "Ya."

Kyle diam saja. Ia berjalan ke arah rak buku, meneliti setiap benda yang ditemuinya di sana, sebelum beralih ke meja belajar. Lalu ke jendela.

"Dad pernah cerita kalau dia melamar mom di sini," gumam Alaska.

Kyle menoleh untuk menatapnya. "Benarkah?"

Alaska tersenyum. "Ya," sahutnya. "Dad bilang, dad sedang mengajak mom pulang ke Bradford waktu itu. Lalu, dengan bantuan Aunt Waliyha, dad melamar mom. Dia membuat lilin-lilin yang bertuliskan Marry me? di luar sana," lanjut Alaska sembari menunjuk keluar jendela. "Lucu, ya."

Kyle malah mengerutkan dahinya. "Aunt Waliyha?"

"Adik dad."

"Oh." Kyle mengangguk-angguk. "Kamar ini tetap seperti ini dari dulu?"

Alaska mengangguk. "Ya."

Kyle melemparkan pandangannya ke arah dinding-dinding yang dilapisi poster. "Sepertinya dad benar-benar menyukai sepak bola," gumamnya.

Alaska mengangguk lagi. "Dad sudah masuk ke akademi Chelsea dari usianya 12 tahun," jelasnya tanpa diminta. "Lalu dia diundang untuk bermain di Chelsea U-18, dan Chelsea U-21, lalu masuk ke tim inti."

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang