Part 34

1.6K 222 44
                                    

Katya berusaha keras untuk berhenti menangis, karena ia tahu, ia tidak boleh menangis sekarang.

Zayn pernah berpesan kepada Katya agar Katya mendukung Zayn ketika hal ini terjadi. Sekarang, hal ini terjadi. Katya harusnya bisa mendukung Zayn. Katya harusnya bisa menguatkan diri agar bisa menguatkan Zayn.

Tapi, ia malah menangis.

Setelah Kyle pergi dan Alaska naik ke kamarnya, Zayn masuk ke dalam kamar, lalu duduk di pinggir kasur. Kepalanya dibenamkan di telapak tangannya. Rambut hitamnya kusut dan acak-acakan, karena entah sudah berapa kali ia menariknya.

Katya tidak melihat Zayn menangis, tetapi punggung Zayn bergetar. Mungkin Zayn sedang menangis, atau Zayn mungkin hanya terlalu marah, atau mungkin, Zayn hanya terlalu kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri.

Katya tidak ingin Zayn merasa kecewa kepada dirinya sendiri. Karena baginya, Zayn adalah suami yang hebat. Dan ayah yang hebat. Dan Katya tidak ingin Zayn tidak merasa demikian.

Jadi Katya menegarkan dirinya, menghapus air matanya, agar ia bisa berjalan menghampiri Zayn, duduk di samping Zayn sembari meletakkan tangannya di punggungnya, dan mengatakan kepada Zayn kalau semuanya akan baik-baik saja.

Walaupun semuanya sedang tidak baik-baik saja.

"Hey. Tidak apa-apa," gumam Katya. Katya melingkarkan tangannya di pundak Zayn, berusaha merangkul Zayn yang jelas-jelas lebih besar darinya. "Tidak apa-apa."

Zayn tidak merespons. Ia bahkan tidak bergerak. Ia tidak memegang tangan Katya, ia tidak balas memeluk Katya. Ia hanya diam. Walau begitu, Katya tidak menarik diri.

"Tidak apa-apa. Aku di sini."

Zayn akhirnya mengangkat wajahya. Ia menatap Katya, sembari tersenyum kecil. Tetapi hanya sebentar, karena ia kembali menunduk lagi setelah beberapa detik.

Katya menyadari bahwa mata Zayn memerah seperti habis menangis walaupun tidak ada jejak air mata. Rasanya menyakitkan juga karena selama ia mengenal Zayn, ia tidak pernah melihat Zayn menangis.

"Aku tidak tahu harus apa," gumamnya. "Aku benar-benar tidak tahu aku harus apa."

Katya mengelus punggung Zayn. "Mereka hanya butuh waktu," kata Katya sembari tersenyum. Katya harap suaranya terdengar meyakinkan dan menenangkan, walaupun sebenarnya ia tidak bergitu yakin. "Mereka hanya butuh sedikit waktu untuk mencerna kebenarannya. Habis itu, kita akan baik-baik saja."

"Kau lihat mata mereka tadi," Zayn bersuara lagi. Suaranya berat dan sedih. "Kau lihat cara Kyle menatapku. Sudah tergambar dengan jelas di matanya kalau dia sangat membenciku. Dan kau juga lihat cara Alaska menatapku. Alaska mungkin tidak membenciku—tapi dia kecewa padaku. Dan itu lebih buruk lagi. Aku merasa.....entahlah, Kat. Aku merasa gagal. Aku mengecewakan."

Katya hampir-hampir menangis lagi.

"Coba lihat aku."

Zayn tidak merespons.

"Coba lihat aku," ulang Katya. Zayn mengangkat kepalanya lagi, lalu menatap Katya. "Menurutmu, bagaimana cara aku menatapmu?"

Zayn diam saja.

"Apakah aku menatapmu dengan tatapan kecewa? Tidak. Aku tidak pernah menatapmu seperti itu, karena aku tidak pernah kecewa padamu. Karena kau tidak mengecewakan. Kau tidak gagal, Zayn. Ini hanya sebuah fase sulit yang harus kita lewati. Semuanya akan baik-baik saja."

Zayn menunduk untuk menatap tangannya yang bertautan. "Bagaimana kalau Kyle benar?" gumamnya. "Bagaimana kalau aku memang hanya menghancurkan hidupnya? Bagaimana kalau aku harusnya tidak perlu repot-repot menjadi ayahnya? Bagaimana kalau tanpa aku sebagai ayahnya, dia memang benar-benar baik-baik saja—lebih baik, bahkan?"

For Them, We Were.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang