Hari itu, Alaska dan ayah dan ibunya mengantar Kyle sampai ke Bandara.
Awalnya, Kyle sangat tidak senang duduk di kursi belakang audi milik ayahnya bersama Alaska, sementara ayahnya menyetir dan ibunya duduk di kursi penumpang di samping ayahnya. Kyle sudah bilang dia tidak menyukai 'rekreasi keluarga' tetapi Alaska, ibu, dan ayahnya tetap bersikeras ingin mengantar Kyle sampai Bandara, jadi Kyle tidak punya pilihan lain selain menuruti.
Di Bandara, sudah banyak sekali tentara-tentara seperti Kyle yang tengah berkumpul bersama sanak saudaranya. Mereka semua terlihat sama seperti Kyle—rambut pendek, tubuh tinggi tegap, kaus abu-abu dan celana panjang bermotif tentara warna cokelat muda, ransel, serta sepatu boot.
Ketika pengumuman keberangkatan pesawat sudah terdengar melalui speaker di sudut-sudut, satu persatu keluarga mulai mengucapkan ucapan selamat tinggalnya masing-masing. Karena, yah, sebagian kecil dari mereka sedang menatap keluarganya untuk yang terakhir kali.
"Hati-hati, Kyle," kata ibunya. Ibunya adalah orang yang pertama mengucapkan selamat tinggal. Ia lalu memeluk Kyle cukup lama. "Jangan lupa telpon."
Kyle tersenyum. "Pasti."
Yang kedua adalah Alaska. Alaska memeluknya erat sekali, sampai-sampai Kyle hampir merasa tulang rusuknya patah lagi. Alaska tidak menangis, yang merupakan kabar bagus, karena kalau Alaska menangis, Kyle tidak yakin Kyle akan sanggup pergi.
"Cepat kembali," gumam Alaska.
Kyle tersenyum lagi. "Tunggu aku."
Lalu yang terakhir, adalah ayahnya.
Ayahnya tentu saja tidak memeluknya seperti ibunya atau Alaska. Ia hanya maju satu langkah mendekat, membuat mereka berhadap-hadapan. Kyle satu inci lebih tinggi dari ayahnya, dan karena ia memakai sepatu boot, ia jadi dua inci lebih tinggi.
Situasi ini agak canggung.
"Oke," ia mendengar ayahnya berkata. Ayahnya kemudian merogoh saku belakang celananya, dan memberikan sesuatu yang lalu Kyle kenali sebagai brass knuckle.
Kyle mengerutkan dahinya. "Untuk apa?"
Ayahnya mengangkat bahu. "Kenang-kenangan?"
Sebetulnya Kyle ingin bilang, "makasih, tapi tidak perlu, karena aku sudah hebat dengan tanganku sendiri," tapi ia mengurungkan niatnya, dan malah mengambil brass knuckle itu dari tangan ayahnya, kemudian memasukkan ke kantung celananya sendiri.
"Terima kasih," kata Kyle tulus.
Ayahnya mengangguk. "Berusaha agar tetap hidup, Kyle."
Kyle tersenyum kecil. "Ya, pasti."
Lalu mereka hanya berdiri dengan canggung sembari menatap satu sama lain dengan canggung, sampai akhirnya—Kyle tidak tahu apa yang dipikirkannya saat itu—ia memeluk ayahnya. Bukan seperti pelukannya dengan ibunya atau dengan Alaska. Tapi pelukan yang lebih simpel dan lebih singkat, dan tersirat aku-bangga-padamu dari ayahnya dalam pelukan itu.
Saat itu Kyle berharap ia tidak membenci ayahnya.
Pengumuman keberangkatan pesawat terdengar lagi, dan kali ini, Kyle benar-benar harus pergi. Jadi, Kyle mengencangkan tali ranselnya, lalu berjalan masuk ke dalam ruang tunggu yang letaknya di dalam, dan meninggalkan keluarganya.
"Kabari aku kalau sudah sampai!" ia mendengar Alaska berteriak.
Untuk yang terakhir, Kyle menoleh. Ia mengangguk dan tersenyum singkat, sebelum kembali berjalan lurus, dan tidak menoleh ke belakang lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...