Kyle setuju untuk makan malam di rumah Alaska bersama ayah dan ibunya untuk kedua kalinya sore itu.
Alaska menelponnya semalam, mengatakan bahwa ayahnya menggunakan hak veto-nya untuk mengundang Kyle makan malam, dan Alaska tidak punya pilihan kecuali mengundang Kyle makan malam. Kyle tidak melihat alasan kenapa Alaska harus khawatir tentang makan malam itu. Harusnya Kyle yang merasa gugup.
Mungkin Alaska merasa ayahnya terlalu mengintimidasi Kyle, yang memang benar. Tapi, itu wajar. Semua ayah yang memiliki anak perempuan memang pantas untuk mengintimidasi semua teman laki-laki dari anak perempuannya. Karena kalau suatu saat Kyle punya anak perempuan yang membawa teman laki-laki ke rumah, Kyle akan melakukan hal serupa.
Kyle sudah siap dengan kaus lengan panjang dan jinsnya. Ia menyambar kemeja flannel merah dari sofa, juga kunci mobil di atas meja kaca, kemudian keluar dari flatnya.
Kyle menyetir selama 15 menit untuk sampai ke rumah Alaska. Ia mengetuk pintu, menunggu selama beberapa saat, sampai Alaska membukakan pintu untuknya.
"Kau terlalu cepat."
"Benarkah?" Kyle melirik jamnya. 6.35. "Sepertinya kau benar."
Alaska menyeringai. "Ayo, masuk."
Alaska menggandeng lengan Kyle selagi mereka berjalan masuk sampai ke ruang tengah. Tidak ada yang salah dengan rumah Alaska, kecuali kenyataan bahwa rumahnya sepi.
"Kemana ayah dan ibumu?" tanya Kyle pada akhirnya.
"Membeli makanan jadi. Mom sedang tidak mood masak, sepertinya. Aneh juga, mengingat dia selalu mood masak," Alaska mengangkat bahu. Matanya kemudian menatap ke pintu kamar di sebelah kanan yang terbuka sedikit. "Astaga, Pumkin!"
Alaska membuka pintu kamar lebar-lebar, lalu masuk ke dalam dengan gaduh. Awalnya Kyle hanya diam saja karena ia tidak ingin sembarangan masuk ke kamar ibu dan ayah Alaska, tetapi karena Alaska menjerit sembari memaki-maki di dalam, Kyle memutuskan untuk masuk.
"Ada apa?"
Alaska menyelipkan rambutnya yang terjuntai di belakang telinganya. "Pumkin," katanya. "Aku pasti lupa menutup pintu kamar dad. Dia masuk, dan lihat," Alaska menunjuk meja kerja yang berantakan. "Beruntung sekali Pumkin tidak buang air."
Kyle tertawa kecil. Ia berjongkok untuk mengelus Pumkin yang sedang mendongak untuk menatap Alaska dengan wajah tidak bersalah. Lalu Kyle berdiri. "Boleh aku bantu?" tanyanya.
"Ya, tentu."
Kyle memungut kertas-kertas dan map-map yang berserakan di lantai, sementara Alaska membereskan kertas yang berserakan di atas meja. Ia tahu bahwa apapun isinya pastilah penting, dan seandainya isinya berubah susunan, Kyle yakin ayahnya Alaska akan sadar.
Kyle meletakkan map-map yang sudah dikumpulkannya ke atas meja untuk dibereskan oleh Alaska. Ia hendak beranjak pergi, tepat ketika selembar kertas jatuh di kakinya. Kyle lalu berjongkok untuk memungut kertas itu.
Ternyata sebuah potongan dari koran.
Dan Kyle mengenalinya, hanya dengan membaca judul yang dicetak dengan tulisan besar-besar itu.
Tangan Kyle bergetar ketika ia memegang potongan koran itu. Ia membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat. Kemudian selesai.
"Kyle?" ia mendengar Alaska memanggilnya. "Ayo, kita sudah selesai."
Kyle memberi gestur tunggu kepada Alaska selagi ia mencari map tempat koran itu diletakkan. Map itu berwarna kuning lusuh, berada di tumpukan teratas karena mungkin map itu berada di tumpukan terbawah ketika ada di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...