"Kau sudah menyelesaikan sekolahmu?"
Alaska duduk di atas sofa di flat Kyle di Haggerstone, kedua kakinya disilangkan. Di pangkuannya ada semangkuk penuh buah-buahan segar yang dijadikan camilan selagi ia menonton TV series kesukaannya yang paling baru.
Hari itu Sabtu, kira-kira dua bulan setelah Kyle meninggalkan London. Kyle menelpon Alaska hampir setiap malam dalam dua bulan itu, membuat Alaska nyaris tidak pernah kehilangan informasi darinya. Jadi, Alaska tahu hari ini sekolah Kyle sudah selesai.
"Ya," sahut Kyle dari sebrang. Ada nada bangga dan lega dalam suaranya. "Masih ada pelantikan dan inisiasi dan yang lainnya. Habis itu, aku dikirim ke perbatasan entah di mana selama dua minggu, baru pulang."
Alaska tidak jadi senang. "Yah," gerutunya. "Kukira kau boleh langsung pulang."
Kyle tertawa. "Belum. Tapi, aku akan ada di London ketika natal."
"Tentu saja kau akan ada di sini ketika natal. Kau kan harusnya pulang November, bukan Desember," Alaska menggerutu. "Yang kau lewatkan adalah hari ulang tahunku."
"Maksudmu, hari ulang tahunku juga."
Alaska kadang-kadang lupa kalau mereka kembar. Rasanya ternyata aneh sekali membagi hari ulang tahun bersama seseorang yang ia kenal dekat seperti Kyle.
"Ya, kira-kira begitu," katanya kemudian.
"Kau tahu, sepertinya aku akan tetap menganggap ulang tahunku jatuh di 19 Juli," kata Kyle. "Setelah dipikir-pikir, menemukan kenyataan baru tidak selalu berarti mengubah kenyataan yang sudah ada."
Alaska menyeringai. "Kau benar."
"Eh, Alaska, aku harus pergi. Nanti kutelpon lagi. Sampai nanti."
Lalu Kyle mematikan telpon.
Semalam Alaska menginap di Haggerstone sepulang kuliah, karena ia pulang terlalu larut dan menyetir ke rumahnya di City of London terasa benar-benar melelahkan. Alaska tidak membawa pakaian ganti, jadi ia meminjam kaus dan boxer Kyle. Untungnya, Alaska selalu menyimpan pakaian dalamnya di mobilnya. Just in case.
Karena hari itu Sabtu, ayahnya punya pertandingan di Stamford Bridge jam 2 siang. Alaska ingin sekali datang, tapi entah kenapa ia hanya ingin menghabiskan Sabtunya dengan bermalas-malasan di flat Kyle yang nyaman.
Flat Kyle pasti mati kalau Alaska tidak pernah berkunjung ke sana. Kyle punya beberapa pot tanaman kecil di balkonnya yang selalu Alaska siram tiap ia datang dan tiap ia mau pergi. Alaska juga selalu membersihkan flat Kyle—terutama dapur dan kamar Kyle.
Alaska tidak sadar kalau ia sedang merindukan Kyle. Yang ia tahu adalah, berada dekat dengan hal-hal yang berbau Kyle sembari berbicara dengan Kyle membuat perasaannya sedikit membaik. Sedikit. Walaupun kadang-kadang, meningat-ingat kalau Kyle adalah kakaknya bisa membuatnya menjadi....entahlah.
Sedih? Marah? Kecewa? Alaska tidak tahu pasti. Yang jelas, ia hanya ingin berteriak dan memukul sesuatu, karena dunia begitu tidak adil kepadanya.
Satu hal yang pasti, Alaska tidak menyalahkan ayahnya atau ibunya atau Kyle. Walaupun mungkin kesalahan terbesar bisa dibebankan kepada ayahnya, tapi bagi Alaska, itu bukan salah ayahnya.
Alaska tahu benar Kyle menyalahkan ayahnya. Karena menyalahkan orang lain memang paling mudah. Masalahnya adalah, Kyle tidak mengenal ayahnya seperti Alaska mengenal ayahnya. Kyle tidak tahu bahwa ayahnya adalah ayah paling baik sekaligus ayah paling penyayang yang pernah ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...