Kyle menatap kosong televisi di hadapannya. Alaska masih duduk di sampingnya sembari memegang piring kecil bekas kue yang kini sudah diletakkannya di atas meja kaca, sebelah tangannya memegang lengan Kyle. Ia tersenyum tipis.
"Kuharap kau menemukannya," kata Alaska.
"Apa?"
"Orang itu," kata Alaska lagi. "Kuharap kau menemukannya."
Kyle mengangguk. "Aku harap juga begitu."
Mereka duduk dalam diam selama beberapa saat, sampai akhirnya Kyle mendengar Alaska bertanya lagi.
"Lalu kalau kau sudah menemukannya, apa yang akan kau lakukan?"
Membunuh. Itu adalah satu hal yang sudah lama sekali Kyle ingin lakukan kepada siapapun orang yang membuat hidupnya menjadi berantakan seperti ini. Orang itu, orang yang membuat semua harapan Kyle pupus, pantas mati.
Tidak peduli siapapun dia.
Tapi Kyle tidak mengatakannya. Kyle tidak pernah mengatakannya keras-keras. Keinginan itu terdapat jauh sekali di dasar hati Kyle, dan akan terus Kyle simpan untuk dirinya sendiri saja. Bahkan Alaska pun tidak boleh tahu soal itu.
"Aku belum berpikir sampai kesana," kata Kyle kemudian. Ia memutuskan untuk menjawab begitu, agar terdengar sedikit normal. "Akan kucaritahu nanti."
"Sepertinya kita harus menutup topik ini."
Kyle mengangguk. "Kau benar."
Alaska bangkit dari sofa, kemudian mengambil piring yang sudah kosong dan membawanya ke wastafel dapur untuk dicuci.
"Omong-omong, kau tidak bercerita tentang tesnya," kata Alaska. "Bagaimana tesnya?"
Kyle ingin menjawab tesnya biasa saja, tapi nyatanya seluruh tubuhnya hampir remuk. Bahkan sekarang rasanya ia sudah tidak bisa menggerakan tangan dan kakinya tanpa membuat ototnya terasa sakit. Begitu pula dengan badannya.
"Lumayan," sahut Kyle kemudian.
Alaska mengerutkan dahinya. "Hanya lumayan?"
"Aku melakukan semua yang harus aku lakukan sebisaku," Kyle mengangkat bahu. "Tinggal tunggu hasilnya saja."
"Kapan hasilnya keluar?"
"Tiga sampai tujuh hari lagi."
"Hmm." Alaska mengelap piring, lalu memasukkannya ke dalam laci. Setelahnya, ia kembali duduk di atas sofa, di samping Kyle. "Lalu kalau kau diterima, kapan kau mulai latihan?"
"Biasanya dua minggu setelah pengumuman."
Alaska mengangguk-angguk. "Lalu, kau akan latihan selama—berapa, 6 bulan 2 minggu?" Kyle mengangguk. "Nah, dalam waktu selama itu, berapa kali kau akan pulang?"
"Entahlah. Mungkin dua atau tiga. Paling bagus satu kali sebulan."
"Lalu bagaimana?"
"Apanya?"
Alaska menatapnya dengan tidak sabaran. "Semuanya," katanya, membuat Kyle mengerutkan dahinya bingung.
"Baik-baik saja."
"Baik-baik saja?"
"Kurasa itu sudah resiko yang harus kuambil."
Alaska menatapnya selama beberapa saat, lalu menggeleng-geleng sembari tertawa sarkatis. "Ini menggelikan," katanya.
"Apanya?"
"Aku. Aku menggelikan. Karena tampaknya, aku tidak ingin kau pergi lebih dari kau tidak ingin meninggalkanku," kata Alaska lagi. "Kau bahkan tidak tampak seperti kau tidak ingin meninggalkanku. Dan aku menggelikan, karena seharusnya, kau memang tidak perlu merasa seperti itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...