"Bagaimana, Dalton? Ini sudah dua tahun."
John Dalton mengecek berkas-berkas yang sudah ditelitinya selama kurang-lebih dua tahun. Itu adalah sebuah pencarian kecil. Harusnya, dalam dua hari pun Dalton sudah bisa menemukan keberadaan anak itu.
Tapi ini sudah dua tahun.
"Maafkan aku, Zayn, tapi anak ini seperti bunglon." Dalton menyesap kopinya yang masih berasap karena panas. "Dia pindah dari satu tempat ke tempat lain. Dia tidak pernah bertahan lebih dari 6 bulan. Pindahnya pun tak tanggung-tanggung. Bisa saja dari Manchester, langsung ke Falmouth. Atau ke Leeds."
Zayn menunggu.
"Di panti asuhan pertama tempat aku mencarinya, namanya masih tercatat sebagai Achilles. Panti asuhan kedua, masih Achilles. Tapi setelah panti asuhan kedua, aku tidak tahu lagi dia ada dimana. Karena tidak ada lagi anak bernama Achilles yang terdaftar."
"Berganti nama?" tebak Zayn.
Dalton mengangguk. "Aku takut begitu."
"Tapi kenapa?" Zayn menggeleng-geleng tidak percaya. "Dia masih 8 tahun, Dalton. Anak 8 tahun mana yang mampu mengganti namanya?"
"Aku takut dia memang tidak ingin ditemukan."
Zayn mengerutkan dahi. "Maksudnya?"
"Aku takut, dia berpindah-pindah dan mengganti nama karena dia tidak ingin ditemukan. Karena dia merasa tidak aman. Karena dia merasa dicari. Atau, karena dia hanya tidak ingin teringat dengan masa lalunya lagi."
Zayn terlihat tidak mengerti. Dalton menghela napas, kemudian ia mengoper sebuah file kepada Zayn.
"Hanya ini. Mothers Joy Orphanage mencatat ada dua anak yang masuk, sekitar tiga bulan lalu. Salah satunya bernama Jonathan Achilles. Hanya ini nama Achilles yang masuk ke komputerku dalam satu tahun terakhir."
Zayn mengambil berkas itu, kemudian mengerutkan dahinya. "Jonathan Achilles?" gumamnya. "Kukira Achilles itu nama depan."
"Mungkin dialah yang kau cari."
"Baiklah," ia mengangguk-angguk. "Kita akan ke Leeds besok. Terus pantau anak-anak yang masuk di setiap panti asuhan di seluruh Inggris, Dalton."
Dalton mengangguk. "Aku akan pastikan semua anak dengan nama Achilles masuk ke dalam data komputerku," katanya.
Zayn mengangguk. Ia melihat-lihat berkas, kemudian ia menunjuk berkas yang satu lagi. Zayn benar-benar berharap berkas itu dilengkapi foto, karena setidaknya, sedikit-sedikit ia mungkin masih ingat bagaimana wajah Achilles.
"Siapa yang bersamanya ini?"
"Oh, namanya Kyle."
"Kyle? Hanya Kyle?"
Dalton mengangkat bahu. "Hanya Kyle."
***
Hi!
Author tadinya gamau buat prolog, tapi ternyata part terakhirnya For Him, She Was terlalu nggak berhubungan sama part satu disini. Dan For Him, She Was udah terlanjur gaada prolognya jadi gabisa dibikin epilog, makanya disini dikasih prolog.
Yah, pokoknya gitudeh.
Anyway, makasih banyak yaaa buat kalian yang masih ngikutin cerita ini dari buku pertama sampe buku ketiga. Udah kayak cinta fitri, banyak lanjutannya. Ga kelar-kelar. Huhuhu.
Tapi kayaknya ini bakal jadi buku terakhirnya. Gataudeh gimana kedepannya.
I love u guys so so so so soooo much! Maaf ya kepanjangan. Hihihi
Enjoy!
(Part 1 tetep dipost sekalian part terakhir For Him, She Was)
KAMU SEDANG MEMBACA
For Them, We Were.
Romance-Book 3- Kalau dihitung, ada banyak sekali daftar orang yang ingin Kyle bunuh. Tapi dalam sekian banyak daftar itu, Kyle membuat skala prioritas. Pertama, Bianca Anderson. Kedua, Jeff Callison. Ketiga—dan yang paling ia ingin bunuh, adalah seorang p...