64. Waktunya Pergi

1.1K 103 8
                                    

Hallo hehehe...
Baca lagi yuk :)
Sebentar lagi selesai...

*****

"Sebenarnya hari ini kita berencana akan bawa kamu langsung ke Surabaya, tapi Mami urungkan dan memilih bawa kamu kembali pulang disini."tutur Jesika, Mami Haris.

Mereka berkumpul di kamar Haris, termasuk Papinya. Haris yang tak mengerti hanya mengerutkan keningnya menunggu apa yang akan kedua orang tuanya utarakan.

"Kamu sangat mencintainya?"tanya Papinya, secara bergantian.

"Apa aku harus memberi Papi penjelasan?"jawabnya penuh tekanan. Dengan apa yang sudah ia lakukan mengapa sang Papi masih meragukan perasaannya kepada Nila?

Mami Haris menghela nafasnya perlahan, ia mengusap rambut hitam Haris dengan kelembutan. "Mami ngga pernah lihat kamu secinta ini dengan seorang perempuan sebelumnya. Mami pikir bukan pilihan yang baik untuk menolak perasaanmu pada Nila, tapi kita tahu Haris, kita harus sadar diri, Cakra sebagai ayah dari perempuan yang kamu cintai ngga merestui hubungan kalian.."

"Jadi apa yang harus kita perbuat? Mau kamu ulangi lagi perbuatanmu ini juga ngga akan meluluhkan hati Cakra selain kamu mau menunggu sampai setidaknya Nila lulus sekolah. Kamu bisa mengejarnya lagi dengan keadaan yang lebih baik.."lanjut Maminya, mencoba untuk menjelaskan.

"Papi setuju, kamu anak kami satu-satunya jadi apa yang menjadi bahagiamu maka juga akan jadi kebahagiaan kita. Tapi benar juga jika kamu harus benar-benar mau menunggu setidaknya 2 sampai 3 tahun lagi. Kita akan bawa kamu untuk melamar Nila entah bagaimana respon Cakra setidaknya kita akan berusaha."

Haris diam, menghela nafasnya melirik ke bawah melihat pergelangan tangannya. Ia menjadi menyesal sudah melakukan perbuatan yang hampir menghilangkan nyawanya. Ia hanya berpikir sempit sehingga tak memikirkan juga bagaimana nanti orang tuanya jika ia tak jadi selamat dari kematian.

"Mami, Papi.. Maafin Haris. Pasti kalian kecewa dengan anakmu satu-satunya ini kan?"

"Kita kecewa namun itu ngga akan mengubah rasa sayang kita Haris. Untuk saat ini Papi mohon untuk mendengarkan nasehat kita. Tiga tahun lagi jika kamu mau bersabar, kita akan datang lagi ke rumah Cakra. Bisa kamu mengerti?"

Haris mengangguk, lagi-lagi ia menghela nafasnya berusaha untuk tenang dan mengerti. Mungkin besok jika ia meminta Nila dengan baik-baik, besar kemungkinan Cakra akan luluh. Setelah makan dan meminum obatnya, Haris memutuskan untuk tidur sejenak.

*****

Merenung. Itulah yang dilakukan Nila saat ini, dia diam meratapi nasibnya. Semuanya hilang tak tahu kemana, teman baiknya—Wati dan Daffa juga entah kemana perginya.

Nila merindukan mereka, tidak ada kebencian pada diri Nila setelah tahu Daffa tak menepati janjinya. Mereka berdua begitu kompak hilang tanpa kabar. Padahal besok sudah waktunya Nila untuk mempersiapkan diri atas kepergiannya. Hah, dia tidak bisa untuk menghubungi teman-temannya itu.

Clek!

Suara pintu kamarnya terbuka, membuyarkan lamunan Nila. Anak itu segara menarik selimut untuk menutupi tubuhnya namun di urungkan ketika tangan Sakra menarik selimut itu.

"Jangan ganggu Kakak, keluar!"titahnya tegas, ia malas berbasa-basi lagi. Ia akan memusuhi keluarganya. Ia rasanya sangat tidak ingin berbicara lagi dengan mereka.

Sakra menggeleng, ia memberikan satu cup eskrim strawberry kesukaan Nila. "Biasanya kalau sedih dikasih eskrim, aku tahu dari tiktok. Dan kata Bunda, Kakak itu gak bisa makan coklat jadi Sakra ambilin eskrim di freezer yang rasa melon, yang rasa Strawberry udah Sakra habisin soalnya kapan lagi bisa makan eskrim kesukaan Kakak ya,kan?"ujar Sakra, dia lebih banyak berbicara malam ini tidak seperti biasanya yang hanya berucap sepatah kata, bahkan kadang tidak berbicara sedikitpun.

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang