67. Jaket Pink

744 77 16
                                    

Hallo, hehehe. 🕊️🤍🩷💜🖤😇😎

Makasih.

Bye.



*****

"Ayah, dingin..."

Cakra terbangun dari tidurnya setelah mendengar sepenggal kalimat di telinganya yang terasa sangat nyata. Hembusan nafas di telinganya membuatnya langsung mendudukan dirinya menoleh ke kanan-kiri untuk melihat keadaan kamarnya yang berantakan.

Itu hanya mimpi. Masih dengan matanya yang bengkak, Cakra kembali meneteskan air matanya. Sudah seminggu'an lebih keadaannya sangat kacau. Nisa, tidak lagi mau berbicara dengannya. Nisa kembali sakit, tidak mau melihatnya sama sekali, bahkan ia tidak diizinkan untuk merawatnya sama sekali.

Beruntungnya masih ada Sakra, dan kedua orangtuanya.

Pencarian mengenai korban hilanganya pesawat sudah dilakukan, Haris yang mewakilkan. Awalnya Cakra ingin ikut, tapi melihat kondisi yang tidak memungkinkan akhirnya tidak diberi izin oleh Haris.

Sampai saat ini belum ada perkembangan, belum ada kabar mengenai anaknya. Cakra juga merasa bersalah dan berdosa atas hal ini. Doa dan doa selalu ia panjatkan. Ia masih mengharapkan adanya kabar baik untuk anaknya.

Cakra bangun, ia melangkah dengan gontai menuju kamar mandi untuk mencuci wajanya yang kusam. Ia menatap cermin melihat wajahnya yang masih basah. Ia mencoba mengingat mimpinya namun tak bisa, semuanya terasa gelap. "Dimana pun kamu, bisa kembali kan, nak? A-Ayah janji, setelah ini apapun yang membuatmu bahagia, ayah akan usahakan, nak. Kembalilahh. Meskipun semuanya udah terlambat..."

Cakra sudah banyak menyesali keeogisannya sebagai seorang ayah. Kenapa baru sekarang ia menyesal?

Benar, tanpa adanya Nila semuanya terasa hampa. Ia sangat merindukan ocehan anak itu. Biasanya pagi seperti ini ia sudah rusuh, meminta untuk dibuatkan sarapan, minta segerta diantar kesekolah, memalaknya, bertengkar dipagi hari. Tapi apalah daya, semuanya berbeda tak lagi sama.

"Ayah kangen, kangen sama omelanmu Nak, siapa yang akan ingatin ayah kalau ayah lupa pakai dasi ke kantor Nak kalau bukan kamu? Siapa yang akan marahin ayah kalau sepatu ayah beda sebelah? Kamu anak yang paling peduli dengan ayah apapun hal kecil itu, Nak. Ayah kangen..."

Klek!

Pintu kamarnya terbuka, Jefrry yang menghampirinya. Menampakkan senyumnya yang terkesan dipaksa.

"Gimana Nisa, Pa?"

Jeffry menggelengkan kepalanya. Lelaki tua itu mendudukan dirinya. Ia sangat lelah, kurang tidur, jarang mengisi perutnya. Terkadang punggungnya terasa sakit dan pegal, kepalanya sakit memikirkan nasib rumah tangga anaknya. Jeffry kira, semuanya akan terus baik-baik saja setelah rujuknya Cakra dan Nisa. Nyatanya keluarga anaknya itu masih diuji lagi dengan hilangnya Nisa.

Jeffry merasa gagal mendidik Cakra.

"Istrimu demam lagi, lebih tinggi dari sebelumnya. Ia terus mengigau, memanggil nama Nila dengan airmatanya yang juga menetes. Istrimu tertekan Cak. Papa harus gimana?"

"Ini juga salah Papa yang menyetujui keputusanmu. Nila cucu pertama Papa, anak itu kesayangan Papa juga. Papa juga ada rasa ketakutan, Papa takut Nila memiliki hubungan diluar batas meskipun Papa tahu Haris itu sangat baik. Kasih tahu Papa, kita harus bagaimana sekarang.."lanjutnya, sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Jeffry menundukkan kepalanya, mengusap airmatanya.

Cakra diam, berlutut di kaki Jeffry. "Kita bawa Nisa ke rumah sakit lagi, Pa?"

Jeffry menggelengkan kepalanya. "Percuma, dia menolak. Nisa selalu berharap Nila kembali dan ia bisa menjadi orang pertama untuk menyambut kedatangan anak kalian."

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang