24. Panas!

7.7K 912 370
                                    

Pagi-pagi sekali Daffa sudah berada di depan gerbang sekolah kira-kira pada jam yang menunjukkan pukul enam pagi. Ia sengaja datang lebih awal agar ia bisa bertemu Nila padahal tak perlu ia menunggu sepagi itu karena mereka pasti akan bertemu di kelas yang sama.

Daffa terus menunggu, hawa yang dingin langsung begitu saja menusuk kulitnya. Karena terlalu terburu-buru ia sampai lupa untuk membawa jaket.

Tiga puluh lima menit kemudian area sekolah sudah mulai ramai, satu persatu siswa-siswi datang banyak dari mereka yang datang dengan diantar oleh orang tuanya dan itu membuat Daffa menunduk tersenyum kecut karena merasa sedikit iri.

Sekali aja aku gak bisa ngerasain itu..

Sepuluh menit berlalu akhirnya mobil hitam milik Cakra tiba tanpa Daffa sadari. Sedangkan di dalam mobil Nila sempat tak sengaja melihat Daffa ia mengernyitkan keningnya karena merasa bingung kenapa Daffa berdiri di depan gerbang. Jiwa kepedannya muncul. Apakah Daffa menunggu kedatangannya?

"Lihatin apa?"

Nila tersadar, ia tersenyum kepada Cakra lalu menujuk Daffa menggunakan jari telunjuknya yang tentu saja diikuti dengan arah pandang Cakra.

"Lihat? Pangeran nya Nila udah nungguin. Ganteng kan yah? Putih banget kan? Hayoo insecure pasti ayah.."

Cakra terus diam memperhatikan anak lelaki itu, dari kejauhan ia menatap Daffa dalam-dalam, ia merasa seperti teringat pada seseorang tapi entahlah ia tak yakin akan perasaannya.

"Oh, jaman mudanya ayah juga seganteng dia Nil. Lebih ganteng malah. Mangkanya bunda tersepona sama ayah.."

"Cih, ngaca dulu kali sebelum ngomong!"Nila berdecih sembari memutar malas bola matanya.

"Ayah mau kenalan sama dia ah.. ayah pengen tau gimana depresotnya dia setelah mendengar kentut kamu."

Cakra keluar dari mobil dengan diikuti Nila. Mereka melangkah mendekati Daffa yang kini menunduk melihat sepatu sekolahnya sendiri.

"Daffa?"sapa Nila.

Daffa mendongak mendengar suara yang ia kenal tengah memanggilnya, matanya langsung tertuju pada sosok Nila, tanpa basa-basi tangan Daffa terulur untuk menyentuh pipi Nila, Daffa mengecek setiap inch wajah Nila memastikan jika wanita itu baik-baik saja.

Cakra yang melihatnya tersenyum tipis, ia tak menyangka teman Nila sepeduli itu dengan anaknya.

Gue jaman muda dulu juga kayak gitu kok!

Sedangkan Nila, anak itu menelan kasar air liurnya, ia gugup, ia salah tingkah, ia melirik sekilas sang ayah yang terus memperhatikannya, memperhatikan Daffa.

Astaga.. kenapa harus di depan ayah sih? Bisa-bisa aku kena omel lagi nih!

"Kamu gak papa? Kamu baik-baik aja? Masih ada yang sakit? Ma-maaf aku gak tau kalau kamu alergi coklat, kalaupun aku tau gak akan biarin kamu makan itu Ni-----"

"Ekhem! Da--daffa, Nila baik-baik aja kok."Nila melepaskan dengan pelan tangan Daffa yang berada dilengannya.

Ia tak enak dengan sang ayah jika seperti ini. Nila melirik Cakra sekilas lalu beralih lagi pada Daffa. "I-ini kenalin lelaki tua beruban di samping aku adalah ayah Cakra, ayahnya Nila."

Daffa menoleh, ia tersenyum pada Cakra lalu tangannya mengulur untuk mengecup punggung tangan Cakra dan Cakra menerima itu dengan hati yang berdebar tapi bukan karena ia jatuh cinta, Cakra bukan homo hanya saja perasaannya tak karuan setelah menatap wajah Daffa sedekat ini. Lagi-lagi ia merasa tak asing, merasa Daffa mirip dengan orang yang dikenalnya tapi lagi-lagi ia masih belum tahu siapa orang itu.

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang