43. Menyelidiki?

3.5K 363 56
                                    

"Pagi banget jemput Nila, nak?"

Daffa mengangguk, seperti biasanya ketika bertemu dengan orang tua Nila ia akan salim dengan mereka. Di malam sebelumnya saat tengah belajar mereka sempat meluangkan waktu untuk saling menelpon dan atas keinginan Cakra akhirnya Daffa datang untuk menjemput Nila dengan senang hati.

Cakra selalu memiliki keinginan untuk melihat Daffa walaupun hanya sebentar.

"Tolong ya Daffa, suruh anak otak setengah ini untuk belajar."

Nila terkekeh sekilas sembari menepuk pelan lengan sang ayah. "Heh ayah yang bener aja dong, bukan otak setengah lagi tapi emang gak punya otak."

Mereka sontak tertawa begitupun dengan Daffa. Sepagi ini dia sudah dibuat terhibur dengan ucapan kocak teman wanitanya itu, bukan hanya teman lagi melainkan wanita yang Daffa sukai. Daffa tak tahu apakah rasa sukanya itu dapat terbalaskan atau tidak namun yang terpenting disini adalah ia bisa bersama Nila, baginya itu sudah lebih dari cukup.

"Baru kali ini bunda tau ada orang yang bahagia karena gak punya otak." Nisa menggelengkan kepalanya mendengar itu. Ia datang bersama dengan Sakra yang juga sudah siap untuk berangkat ke sekolah.

Sakra yang melihat kedatangan lelaki asing langsung memancarkan aura super juteknya. Ia terlihat seperti emak-emak komplek yang sedang mengintrogasi calon mantu, matanya terus menjelajahi penampilan Daffa dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tampan! Itulah kesan pertama yang Daffa dapatkan dari seorang Sakra.

"Mencicil aja tuh mata, kayak gak pernah lihat orang ganteng aja!"

Sakra berdecak, namun sebelum ia benar-benar membalas ucapan sang kakak, gerakan mulutnya langsung terhenti ketika suara Nisa terdengar indah di telinganya.

"Udah gak usah dengerin kakak mu itu. Di anter ayah sekarang ya, nak."

Sakra mengangguk, ia meraih tangan Nisa. "Di anter bunda juga ya tapi."

"Iyauda bunda anterin sama ayah." Nisa mengalihkan matanya menatap Daffa yang masih terdiam menatap kearahnya, ia tersenyum mengelus sekilas rambut Daffa. "Tolong hati-hati naik motornya ya, nak. Gak usah ngebut takutnya nanti waktu udah nyampe sekolah rambut Nila jadi berubah kayak sarang burung unta. Kan, gak lucu.."

"Bunda, ih! Lihat yah, bunda ejek anak cantik ayah loh, jangan diem aja."

Cakra menyengir memperlihatkan deretan giginya yang rapi mendengar rengekan Nila. Ia melirik sedikit Nisa yang ternyata sedang melotot ke arahnya. Kalau sudah begini jadinya apa yang bisa Cakra lakukan?

"Udah ah sana berangkat, kasihan Daffa nungguin."

Nila mengangguk meskipun ia kesal karena kali ini sang ayah kesayangan tak membelanya. Ia segera mencium punggung tangan kedua orang tuanya lalu segera menarik tangan Daffa menuju motor Daffa yang terparkir di belakang mobil sang ayah.

"Pakaiin helmnya Daf, lagi kesel ini."

Daffa mengangguk, ia memakaikan helm itu dengan senang hati sesekali memberanikan diri melirik wajah cantik Nila sedekat ini. Bahkan meskipun sudah lama mengenal tak bisa di pungkiri detak jantung yang terus berdegup kencang itu masih tetap sama.

"Udah siap?"

Nila mengangguk.

"Pegangan."

Nila mengangguk lagi. Ia menuruti perintah Daffa dengan melingkarkan tangannya di perut lelaki itu tanpa rasa canggung. Mereka berangkat, Daffa mulai melanjutkan motornya perlahan dengan senyum yang tak bisa lagi ia tahan ketika melihat tangan putih mulus Nila yang melingkar di perutnya.

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang