57. Janji Daffa

2.8K 228 35
                                    

Hello, saya kembali. 💅

Baca ya?

Tengkyuh.

*****

"AYAH!!"teriak Nila dengan lantang menggetarkan seluruh penduduk yang tengah mengadakan Rapat yang dipimpin oleh Cakra--Ayahnya sendiri. Ia masuk begitu saja tanpa mengetuk maupun permisi.

Nila yang tak tahu akan apapun hanya bisa meringis dan menutup mulutnya, malu juga, karena saat ini ia menjadi pusat perhatian para sugar Daddy yang tengah berkumpul. Pria-pria setengah umur yang begitu tampan berbalut jas yang begitu pas di badannya.

Ups sorry!

"A--awww!"

Nila meringis, mendapatkan tarikan di telinganya. Ia mengikuti langkah Cakra yang mengajaknya keluar dari ruangan itu. Cakra sungguh kesal, sudah bad mood ditinggal Haris yang membuatnya terlihat ngah-ngoh, dan kini dibuat super bad mood lagi akibat tingkah Nila yang tidak sopan. "Ish, males tau gak sama kamu! Malu-maluin!"gerutu Cakra, menjauhkan tangannya dari telinga Nila.

"Ya mana saya tau kalau Ayah ada Rapat!"balasnya dengan tak kalah sengit. Nila tak hentinya mengusap telinganya yang memerah dan terasa panas.

Cakra bertolak pinggang menatap Nila dari atas Sabang sampai Merauke, kedua bola matanya menjadi pusat perhatian. Ia mengernyitkan keningnya, mensejajarkan wajahnya untuk meneliti wajah Nila yang terlihat ada perbedaan. Ia menyentil keningnya dan berdecak. "Abis nangis ya? Kenapa? Di smackdown Sakra?"

Nila menggeleng. Kalaupun di Smackdown, ia tak mungkin bisa kalah. Paling juga hanya menangis dan mengadu saja.

"Lah terus? Pasti ada yang ingin kamu omongin ke Ayah ya? Yaudah ngomong aja. Ayah akan ladenin kecuali segala hal yang berhubungan dengan uang. Ayah miskin."

Jujur sekali ayahnya itu. Selalu saja menegaskan kalau tidak pernah punya uang. Lagian, siapa yang mau minta uang?

"Emang bener kalau Ayah Haris mau nikah sama Tante Dilla?"tanyanya, sat-set.

"Iya, kenapa?"jawab Cakra, dengan santainya. Padahal lawan bicaranya ini tengah kepanasan setengah hidup mendengar jawabannya.

"Kok Ayah gak kasih tau aku?"protesnya.

"Lupa."

Nila kesal, ia memukul dada Cakra tapi wajahnya kembali menunjukkan raut kesedihan. Kedua bola matanya sudah berair, bibirnya sudah bergetar dan sepertinya sebentar lagi akan turun badai dari mata Nila. "Lupa apa pura-pura lupa sih, Yah?"sendunya, tangan Nila menarik dasi Cakra untuk ia gunakan sebagai lap ingus. 'Sroot!'

"Kamu nangis karena Haris?"

"I-iya. Kalau ayah Haris nikah nanti dia lupa sama aku karena punya keluarga sendiri, terus aku gimana? Siapa nanti yang mau belanjain aku? Kan, Ayah miskin. Siapa juga nanti yang akan antar jemput aku? Ayah kan paling hemat bensin. Terus kalau aku dimarahin, siapa yang bakal lindungi aku? Hiks! Ish, aku sedih Ayah, gak mau Haris nikah sama orang lain, boleh gak sih jadi pelakor?"

"Hemm.. Agak lain emang anak ini."cicit Cakra, lelaki itu mengusap jenggotnya yang tembus pandang. Ia berdecak kembali menatap Nila. "Jangan sampai, hidup jadi pelakor gak akan buat kamu bahagia. Ayah tau sedekat apa kalian tapi tetap harus pikir kebahagiaan masing-masing, jangan egois. Haris udah tua juga asal kamu tau itu! Sebelum singkongnya keriput, dia memang harus menikah secepatnya."

"Terus aku gimana?"

"Lah kamu ini siapanya Haris sih kok kayak gelisah gitu? Harusnya kamu ikut seneng, doain dia supaya pernikahannya gagal atau gimana kek, ishh---"Cakra mengerucutkan bibirnya, ia mencubit lengan Nila sekilas tapi tidak menimbulkan rasa sakit. "Se-sebenarnya Ayah juga gelisah, kalau Haris nikah nanti gak ada yang jadi babunya Ayah di sini, Ayah gak bisa santai-santai lagi."

QueeNila (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang