Happy reading✓
Tandai typo
___________________________Garis lengkung kecil terpatri di bibir Dax. Pria itu tidak pernah mengira, bahwa perempuan kurang ajar ini berhasil mematik api obsesi yang ia simpan dalam-dalam. Salahkan saja mantra wanita itu yang berhasil menarik Dax. Sampai kapanpun, ia tidak akan pernah melepaskan Kathleen. Apalagi bayinya, darah dagingnya. Ia pastikan mereka berdua akan ada dalam pengawasannya.
Semenjak Kathleen mengalami trauma hebat, Dax cukup frustasi meski berusaha bersikap tenang. Andai ia bisa, rasanya Dax ingin menguliti kepala wanita itu. Lalu mengiris bagian otaknya yang berisi memori menjijikan yang mengganggunya selama ini. Pemikiran gila itu terbesit dan hampir terealisasi jika Dax tidak menahan diri.
Namun penantiannya kini nyaris sampai. Kesabarannya menghadapi perempuan itu agar sembuh kian mendekat. Kathleen perlahan membaik, kesehatan mentalnya juga kembali. Ada percikan air bahagia yang tak bisa Dax jelaskan. Perempuan itu mulai bersikap normal saat melihatnya. Melakukan hal yang wajar dan tidak aneh-aneh.
Hari berlalu, hubungan mereka pun semakin dekat. Kathleen mulai menerima Dax, bahkan sudah menunjukkan reaksi ketertarikan. Dax menyeringai dalam lamunannya. Bukan 'kah ini semakin mudah? Untuk mengikat, menjerat dan membuat wanita itu bergantung hanya padanya. Kathleen, wanita keras kepala dan kurang ajar akan tunduk dan penurut padanya, bukan 'kah itu semakin menarik? Dax tak sabar menantikan hari itu.
"Dax, kemarilah!" Lamunan Dax buyar bersamaan suara wanita itu memanggil. Mata pria itu menatap penuh sambil berjalan perlahan menghampiri Kathleen.
Pipi Kathleen terangkat dengan mata menyipit memandangi lukisan. Bibirnya terbuka merekah, membuat Dax mengerjap lalu melihat sekeliling. Shit! Rasanya ia ingin melumat bibir manis sialan yang beraninya tersenyum di tempat umum.
Dax sontak merangkul pundak Kathleen. Mengangkat dagu wanita itu dengan sebelah tangan agar mendongak. Dengan cepat, ia menyambar bibirnya.
"Sinting!" Kathleen mengumpat pelan sambil menyusut bibir. Ia menilik tajam, tak habis pikir dengan urat malu pria itu. Ia belum terbiasa dengan ciuman di bibir, apalagi dalam waktu lama. Hal itu justru memicu ketakutan dan rasa gelisah akibat trauma yang belum hilang sepenuhnya.
Pernah suatu ketika, Dax brengsek itu memaksanya berpangutan bibir secara intim. Namun, tubuh Kathleen justru gemetar. Ciuman panas tak jauh akan berakhir dengan tidur di ranjang. Selintas bayangan buram nan gelap itu menghantuinya. Bagaimana Melden menggerayangi dan berusaha menelanjangi dirinya membuat Kathleen gelisah setiap menerima ciuman di bibir. Jika sekedar kecupan singkat atau pelukan, Kathleen masih bisa mengendalikan diri. Tapi tidak dengan yang lainnya. Dia belum berani.
Hal itu yang membuat wajah Dax muram dan uring-uringan tak jelas. Sialan! Dax hanya ingin Kathleen membayangkan dirinya, bukan si keparat Melden. Sebab itu, ia terkadang memaksa Kathleen berciuman hanya untuk membiasakan diri.
"Berhenti mencium sembarangan!" tekan Kathleen.
Perempuan itu juga bingung. Apa dirinya terlalu mengendurkan jarak dan kendali diri? Sampai bisa-bisa Dax kian berkuasa atas dirinya dan selalu mengajaknya beradu mulut. Sialan! Pria itu sedari dulu memang tukang mesum dan pemaksa. Harusnya, Kathleen tidak melupakan itu.
"Aku tidak suka ciumanmu!" Dax menatapnya jengah juga tak percaya. Sampai kapan! Sampai kapan ciuman harus berupa kecupan. Itu takkan cukup.
"Jangan tersenyum." Akhirnya dua kata itu yang hanya bisa Dax lontarkan. Pria itu menghela nafas lalu merubah mimiknya datar seperti biasa.
"Hah? Aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstract Love [END]
FantasyAzalea Kathleen. Seorang desainer muda yang mengalami roda mundur kehidupan. Karirnya sebagai desainer fashion sekaligus model mendorong dirinya bisa berjalan di atas panggung catwalk Paris Fashion Week. Namun sial, ia justru bangun dan terlempar ke...