9 | Danger

479 31 0
                                    

Happy reading✓
Tandai typo
_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠__⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠__⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

Dax Blagden Rodriguez. Pria berdarah Argentina dan Belanda itu kini melonggarkan dasi yang membelenggu lehernya. Ia menyandarkan punggung di kursi besar kebanggaannya.

Ia menatap penuh langit sore Amsterdam. Matanya teduh seakan dapat melumpuhkan lawannya. Tatapannya seksi mampu menghipnotis siapa saja yang lamat menatap pria itu. Perlahan ia menyesap bir yang bertengger manis di tangannya.

"Mr, apa anda yakin memegang dua perusahaan sekaligus?" tanya seseorang.

"Do you think I'm joking? Kau meremehkanku?" Dax menoleh sinis. Suaranya berat dengan nada sarkas seakan memperingatkan, aku tak suka di ragukan!

Pria tersebut menunduk. Kosa katanya salah untuk melontarkan sebuah pertanyaan. "Sorry, Mr. Jika seandainya anda menetap disini. Maka kursi CEO Rodriguez Core Company, Paris akan kosong. Dan Tuan Jorel dan Melden akan berusaha menduduki posisi itu."

Jorel, pria sialan itu memang tidak pernah puas. Sudah di beri kepemilikan club malam milik Ibunya masih saja serakah.

"Arlo."

Pria itu mendongak, menatap tuannya yang tengah tersenyum miring. Saat sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas, ia memiliki makna ganda. Dan sialnya, Arlo selalu tak bisa menerkanya. Pria itu meneguk ludahnya susah payah.

"Pergi! Bekerjalah di perusahaan pusat! Kau mengkhawatirkannya, bukan?"

Seringai tipis dengan sorot matanya menilik tajam, membuat Arlo kian tercekik dengan aura pria itu. Ia seolah menegaskan, jaga batasanmu! Kau hanya bawahan bukan pemilik perusahaan!

Dax terkekeh serak. Ia berdiri, memandangi hiruk-pikuk kota Amsterdam dari balik dinding kaca.

"William Rodriguez, pria tua itu turun tangan. Pergi, temani dia! Awasi juga gerak gerik Melden sebagai manager perusahaan di sana. Laporkan padaku setiap saat!" titahnya.

"Baik, Mr. Anda sendiri bagaimana?"

"Rekrut sekretaris baru untukku. Pergilah! Jangan sampai Jorel dan Melden selangkah di depanku. Orang asing seperti mereka tidak pantas menyandang trah Rodriguez! Cuih, sampah!" desisnya.

"Lalu soal flashdisk?"

Dax berbalik. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Kakinya melangkah, mendekat pada Arlo. Kerah baju pria itu di raih. Diangkat hingga sejajar dengannya

"Apa aku terlalu memanjakanmu, akhir-akhir ini? Sehingga bibirmu dengan nyaman bertanya apapun padaku. Do you want your lips to be crushed, hm?" desisnya dengan seringai licik.

Dimanjakan, katanya? Aku tertekan bekerja di bawah kepemimpinanmu! (⁠;⁠ŏ⁠﹏⁠ŏ⁠)

Batin Arlo meronta ingin menjawab. Tubuhnya menegang kaku. Sementara tangannya sudah berkeringat hebat. Aura pekat Dax benar-benar merenggut kosa kata di kepalanya. Bisa-bisanya, Arlo lupa jika pria di depannya bukan manusia murni. Ada sisi monster yang ia sembunyikan di balik tatapan teduh dan sikap ramahnya.

Kerah bajunya di hempas kasar. Arlo sedikit menjauh. Dengan cepat ia berbicara. "Baik, besok pagi aku akan membawa sekretaris baru untukmu."

Arlo menunduk lalu berbalik meninggalkan ruangan itu. Hari ini dirinya mengaku cukup lancang. Dia masih penasaran dengan alasan Dax memilih di Amsterdam.

Kenapa bukan Wiliam saja, Kakeknya Dax yang menjadi mengurus perusahaan cabang? Kenapa harus pria itu sendiri yang turun sendiri? Jelas-jelas di Paris, Dax lebih terancam karena kehadiran Jorel dan Melden yang hendak merebut kekuasaannya.

Abstract Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang