Happy reading✓
Tandai typo___________________________
Gemuruh hujan mengguyur kota Paris. Membuat malam kian mencekam di terpa badai. Dax langkahkan kakinya di lorong gelap dengan cahaya temaram. Lampunya kerlap kerlip padam dan nyala begitu seterusnya.
Pria itu tak gentar, kakinya kian cepat melangkah saat suara hantaman benda berat terdengar jelas, beradu memecah keheningan malam. Semakin dekat, suaranya kian nyaring.
"Selesaikan!"
Dax menyeringai kecil. Penglihatannya tajam di tengah pencahayaan temaram. Pria itu menjauh, melompat lewat balkon dan masuk ke dalam kamar.
Sontak bibirnya berkedut, menyeringai lebar. Jari dan bola mata manusia tergeletak berserakan di kamar Dax. Aroma darah juga kelopak bunga mawar menambah sensasi pengap ruangan ini. Dax menekan saklar lampu agar kembali padam.
"Ingin bermain-main, huh?"
Dax menghindar saat sebuah belati melayang tepat di lehernya. Insting pria itu bertambah tajam saat kegelapan. Dax tersenyum licik, ia berbaur bersama gelapnya kamar, mengecoh lawan. Saat seseorang itu kehilangan target, ia keluar dari tempat persembunyian. Menunjukkan badan tegapnya.
Seringai iblis terukir di bibir Dax. "Peneror bodoh!" lirihnya.
Dax bergerak tanpa suara, mengambil jari-jari manusia dan melemparnya pada peneror itu. Pria itu terkecoh di temaramnya kamar Dax. Luasnya kamar membuat Dax leluasa berpindah-pindah, mempermainkan pria bodoh itu.
Tampak peneror itu frustasi, menggeram dan menghancurkan benda-benda mencari Dax. "Sialan! Keluar kau!"
"Cukup bermainnya, bedebah!" desis Dax.
Dax keluar lalu menggores belati di punggung pria itu dengan cepat. Gerakan tak terduga dengan kecepatan yang tak masuk akal. Dax bergerak layaknya bayangan.
"Argh ... pengecut! Keluar!"
Dax kian menyeringai. Pria itu keluar lalu menghantam peneror itu. Gerakannya terukur dengan serangan yang tak main-main. Dax tak membiarkan peneror itu lengah dan menyerangnya balik. Desisan dan ringisan peneror itu kian nyaring. Mengalun merdu saat Dax mengukir lukisan dengan belati itu.
Hasrat membunuh Dax membumbung tinggi. Seringai iblisnya kian lebar. Alunan tangis dan sakit peneror itu kian memekik pilu, membangkitkan jiwa monster yang ia tekan akhir-akhir ini. Apalagi Dax menyerang dengan belati yang di layangkan padanya. Bukan 'kah itu semacam senjata makan tuan?
Peneror itu melotot keluar. Lehernya tercekik kencang, meredam suara. Tampak bola matanya bergetar saat ujung belati tepat di depan matanya dengan Dax yang menyeringai.
"Indah sekali kau menghiasi kamarku dengan jari dan bola mata sampah ini. Aku terkesan, bung!" desis Dax tertawa rendah.
Rahang Dax mengeras. Sorot matanya tajam, tegas nan jantan. Ia gerakkan belati itu ke mata sebelahnya dengan seringai lebar.
"Tapi sayang, aku juga menginginkan mata dan jarimu juga untuk menghiasi kamarku. Kau mau 'kan?"
Dada peneror itu bergemuruh. Susah payah ia memegang tangan Dax agar melepaskan lehernya. Namun, Dax justru mengencangkan cekikikan tersebut. Menyeringai puas melihat peneror itu pucat pasi dengan keringat dingin.
"Tenang saja, aku akan menggantinya."
Jleb!
Belati itu menancap di bola mata peneror itu. Dax mengoreknya sedikit lama sambil menikmati jeritan pilu darinya. Bola mata itu keluar, bersamaan darah yang mengucur cantik. Dax menyeringai, ia lakukan hal yang sama pada mata sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstract Love [END]
FantasyAzalea Kathleen. Seorang desainer muda yang mengalami roda mundur kehidupan. Karirnya sebagai desainer fashion sekaligus model mendorong dirinya bisa berjalan di atas panggung catwalk Paris Fashion Week. Namun sial, ia justru bangun dan terlempar ke...