58 | Revenge

239 12 2
                                    

Happy reading✓
Tandai typo

_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠__⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠__⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_⁠_

Kini Dax di masukan ke dalam ruangan gelap berukuran dua meter. Pintu berjeruji besi itu memancarkan cahaya remang-remang.

Samar-samar Dax tertawa rendah. Berbaring ia merenggangkan ototnya yang tegang dari tadi. Setidaknya ia bisa beristirahat disini. Dibanding berdiri dalam kondisi gantung rantai yang membuat badannya pegal-pegal.

"Lea, aku merindukanmu," lirihnya sambil terpejam. "Tapi aku tahu, kau aman bersama Ibumu. Aku jadi tidak terlalu mengkhawatirkan mu."

Kelopak mata Dax terbuka. Terduduk ia lalu bersandar. Nyeri setiap inci tubuhnya dengan pakaian compang-camping layaknya pengemis. Dax jadi terkekeh sendiri, mengingat bagaimana Thomas kehilangan kendali diri tadi.

Bukan Dax tidak berniat untuk melarikan diri. Namun, pria berdarah dingin itu penasaran dengan rencana yang Thomas siapkan. Tidak baik jika tamu pergi tanpa mencicipi jamuan dari tuan rumah, bukan? Anggap saja begitu.

Menyeringai ia pada gesper yang melingkari pinggangnya. Siapa sangka di dalam benda besi itu terdapat suatu chip khusus yang sudah Dax setting untuk mengirimkan sinyal pada seseorang.

"Semua akan musnah!" desisnya menggeram.

Mengalun tawa rendahnya membuat beberapa penjaga bergidik ngeri di luar. Beberapa merasa dibuat kesal.

"Diam, sialan!" Tawa Dax sontak berhenti. Menoleh ia pada pintu. "Daripada kau tertawa jelek. Lebih baik kau merenung tentang hidupmu besok!" lanjut salah penjaga, memberi petuah.

Dax terdiam. Rahangnya mengeras namun matanya menyipit, menyeringai lebar. Tak menjawab sama sekali.

"Berikan aku kapur!" celetuk Dax asal.

"Dia gila!"

"Sudah ku duga, dia tertekan lalu psikisnya terganggu."

Saling berbisik mereka mengatai Dax. Namun pria itu acuh.

"Hey, budak! Jangan repot-repot menghitung hari berharap kau bebas atau hidup terus menerus. Matahari terbit nanti kau sudah langsung di eksekusi!" timpal salah satu diantara mereka. Membuat semua orang terhibur.

Sontak gelak tawa mengalun, saling bersahutan dari lima penjaga jeruji besi Dax.

Tatapan Dax masih sayu, menyorot tenang. Bahkan dengan santai, ia berbaring kembali dengan kedua tangannya di simpan di kepala sebagai tumpuan.

"Anggap saja permintaan anehku itu adalah permintaan terakhir."

Terdiam para penjaga itu saling pandang. Hingga salah satu diantara mereka yang menjadi ketua memberi instruksi agar membawa barang yang di butuhkan. Dax tersenyum miring saat sekotak kapur datang dari celah jeruji.

"Untuk apa benda itu? Kau tidak berniat kabur atau melakukan sesuatu yang merugikan kami?!"

Dax mendongak. Ia kira mereka sudah kembali ke stelan patung di depan jeruji. "Tenang saja, aku tidak akan merugikan kalian dengan benda ini. Mungkin lain kali ku gunakan benda lain," lirih Dax setenang danau.

Perlahan kapur itu Dax goreskan pada dinding sedikit kasar di ruangan itu. Garis demi garis saling menyambung membentuk sebuah sketsa. Beberapa bentuk Dax arsik apik hingga sketsa itu nampak jelas seperti seorang wanita.

Tanpa Dax sadari, para penjaga itu menonton kegiatannya dari luar. Awalnya mereka hanya curiga, hingga rasa itu berganti menjadi takjub.

Sebagian penyempurna gambar, Dax membuat tahi lalat tipis di bawah mata kanan perempuan itu. Terkekeh berat ia berhasil melukis wajah Kathleen untuk menemani gelapnya malam. Lukisan itu sedikit mengobati rasa rindunya.

Abstract Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang