49. TAK BOLEH DI PISAH

3.2K 133 6
                                    

Kesepian. Gavin sangat familiar dengan kata itu. Berada dirumah besar dan mewah tak membuatnya merasa senang sekalipun. Semenjak kejadian 4 tahun yang lalu, hidupnya berubah total dan sulit untuk kembali seperti semula lagi.

Selama empat tahun, Gavin terpaksa bangkit sendiri dari traumanya. Ya, lelaki seperti Gavin pun memiliki masalalu yang kelam. Mungkin tak pernah disangka orang sekalipun.

Kini, cowok yang masih menggunakan seragam sekolah itu duduk di kursi meja makan. Melahap makanan yang ia masak sendiri. Orangtuanya sedang keluar, lebih tepatnya menolak menatap dirinya. Insiden masalalu bukan hanya merubah kepribadian dirinya, namun juga kedua orangtuanya.

"Vina ..." Gavin kembali mengingat nama adik kesayangannya. "Maafin abang dek ..."

Gavin masih mengingat jelas wajah adiknya yang manis itu. Suara renyah dan tawa ceria Vina masih terekam di ingatannya. Setiap kali mengingat Vina, Gavin pasti kembali mengutuk dirinya sendiri.

"Vina, abang kangen sama Vina." Mata Gavin memanas, bentar lagi air yang ditahan dipelupuk mata mungkin akan tumpah.

"Abang janji jangan lama-lama ya! Cepat kemari lagi ajarin aku renang!" Ucap Vina seraya menggenggam tangan abangnya.

"Iya, abang cuma mau ke toilet sebentar. Jangan lasak! Ingat. Tetap disini aja." Gavin menekan setiap kalimatnya. Setelah itu ia pergi ke toilet meninggalkan Vina yang berdiri sembari menatap kolam berenang. Gadis berusia tiga belas tahun itu sudah tidak sabar belajar berenang bersama abangnya. Cuma Gavin yang memperbolehkannya untuk belajar berenang. Ayah dan ibunya sama sekali tak mengizinkannya belajar berenang lantaran khawatir.

Vina berniat mendekati kolam. Ia ingin duduk di bibir kolam hendak menjiprat-jipratkan kakinya didalam air. Namun karena lantai licin, ia terpeleset dan tercebur di air.

Vina melambaikan tangannya berusaha menggapai daratan. Ia tak bisa berenang juga tinggi badannya masih terbilang pendek sehingga kakinya tak bisa menyentuh lantai dasar kolam.

"Abang! Tolong!"

Sayangnya area kolam berenang yang mereka tempati sepi. Para pengunjung memilih ke area lain yang lebih ramai dan terbuka.

Gavin kembali dari toilet setelah selesai membuang hajat. Ia rasa sudah lama meninggal adiknya disana. Karena kebetulan ia harus mengangkat telepon mamahnya yang terus bertanya-tanya kemana Gavin membawa Vina. Tentu Gavin berbohong, ia tak mengatakan jika mereka di kolam berenang untuk mengajari Vina berenang. Karena pasti mamahnya akan sangat marah dan menyuruh mereka untuk pulang.

Gavin berjalan ketempat Vina. Jantungnya seolah berhenti kala melihat tubuh adiknya mengapung di air. Ia langsung melompat ke kolam dan membawa tubuh dingin adiknya keluar. Beberapa saat kemudian, ambulans pun datang dan membawa Vina ke rumah sakit.

Sayangnya Gavin terlambat menyelamatkan adiknya. Gadis kecil kesayangannya itu dinyatakan meninggal dunia.

Kehilangan Vina adalah pukulan takdir yang begitu menyakitkan. Sejak saat itu kebahagian seolah menjauhinya. Perlahan-lahan, orang-orang yang ia sayang mulai menjauhi dirinya bahkan membenci dirinya. Berita kematian Vina bahkan sampai ditelinga teman-teman sekolahnya saat SMP. Sehingga ia dijauhi dan berubah menjadi murid pendiam di sekolah.

Gavin selalu menyalahkan dirinya, ia marah dan kecewa pada dirinya sendiri. Tak jarang ia melakukan selfharm dan menyiksa diri didalam kamar. Tak ada yang peduli jika lelaki itu sedang mengalami depresi. Bahkan kedua orangtuanya seolah menutup mata dengan apa yang terjadi pada putranya. Gavin sakit sendirian, dan bangkit sendirian juga.

Hingga saat memasuki bangku SMA, Gavin yang pendiam tiba-tiba saja kedatangan seorang gadis cantik yang mengulurkan tangannya sambil memperkenalkan diri. Gadis itu adalah Keisya, orang yang bersedia menjadi temannya bahkan setelah Gavin menceritakan semua masalalu buruknya.

DAMIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang