Malam yang sunyi, diiringi oleh lara yang semakin melilit. Tersendat oleh kesedihan, yang perlahan membuat diri enggan untuk bernafas. Bisa dikatakan, Keisya seperti hidup namun mati. Pancaran matanya yang kosong dan pilu, menatap sudut ruangan tempat dirinya di paksa untuk berdiam.
Peristiwa tragis yang ia saksikan didepan matanya sendiri, membuat Keisya tergamang dengan rasa sakit yang luar biasa. Menerima fakta bahwa lelaki itu telah tiada, sebelum mewujudkan banyak hal yang telah direncanakan bersamanya, membuat Keisya ingin mati saja. Apa ia sanggup menerima jika lelaki kesayangannya itu pergi dengan tidak layak?
Senyuman Gavin masih membayangi dirinya. Cara lelaki itu bertutur kata, mata indah yang selalu teduh menatapnya, bahkan saat ia berusaha menghibur Keisya dengan berbagai cara yang ia miliki. Mana mungkin Keisya bisa menerima kenyataan jika hal-hal spesial itu takkan lagi ia jumpai?
"Seharusnya aku nggak dekat-dekat kamu, Gavin .... Seharusnya aku nggak menyeret kamu dalam hidup aku." Keisya menangis kembali, sudah banyak airmata yang tumpah dari kedua maniknya.
"Maaf, maaf ..."
Andai saja Keisya tak menggantungkan hidupnya pada Gavin. Andai saja Keisya tidak menyeret lelaki itu kedalam permasalahannya. Mungkin, Gavin akan baik-baik saja sekarang?
Batin Keisya tersiksa luar biasa. Ia menganggap dirinya bagai manusia tersial yang membawa banyak petaka. Arghh! Keisya muak dengan dirinya sendiri!
Gudang yang dilalap api itu terbayang-bayang, membakar raga didalamnya yang sekarat. Sakit, hati Keisya nyeri bagai ditikam oleh seribu belati.
Cklek
Pintu ruangan ini dibuka oleh seseorang. Keisya enggan menoleh, karena melihat wajah orang itu hanya akan menambah lukanya.
"A-aku benci kamu ..." Keisya bergumam, dan Damian yang datang bersama sepiring makanan sontak membeku. "Aku benci kamu ... Sangat benci." Keisya menekan setiap katanya. Air matanya turun tak henti-henti.
Tangan Damian mengepal, satu harian ini Keisya hanya mengucapkan kata itu saja. Damian sangat benci mendengarnya. Haruskah ia bersikap kasar lagi? Tidak. Ia sudah berjanji untuk mengontrol emosinya demi Keisya. Ia juga telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak melukai perempuan itu lagi.
"Dari pagi kamu belum makan, sekarang kamu harus makan, Kei." Ucap Damian dengan nada lembut.
Keisya tak menggubris, ia masih setia memandang kosong sudut depannya.
"Kei?" Damian memanggil Keisya, namun tetap saja sang empunya tetap diam. Menunduk kelu, Damian sedikit takut dengan sikap Keisya kepadanya. Padahal, Damian berniat memperbaiki segala kesalahannya pada Keisya. Ia ingin membuat Keisya bahagia setelah ini.
"Apa perlu aku suapin biar kamu mau makan?"
Damian khawatir dengan kondisi Keisya sekarang. Tubuh wanita itu terlihat kurus, wajahnya pucat dan kusam, rambutnya berantakan, serta matanya yang sembab.
Keisya sama sekali tak bersuara. Membuat Damian menghela nafasnya. "Aku suapin ya ..." Damian hendak menyodorkan sesendok nasi ke mulut Keisya, namun Keisya menepisnya dan mengambil piring tersebut dari tangan Damian, lalu melemparnya hingga pecahan kacanya berserakan dilantai bersama nasi dan lauknya.
"Enyah kamu dari hidup aku!" Ucap Keisya telak. "Jangan ganggu aku, Damian! Aku benci kamu! Sudah berulangkali aku bilang kenapa kamu nggak ngerti-ngerti!!?"
"Kei–"
"Pergi!"
Sorot mata Damian meredup. Ia tahu jika Keisya membencinya, sangat tahu. Tapi, kali ini ia egois, ia tak ingin meninggalkan Keisya meskipun Keisya dengan lantang menyuruhnya untuk pergi. Damian sangat mencintai Keisya, cintanya gila. Sampai-sampai ia sanggup melakukan apapun agar Keisya tetap disampingnya, dan menjadi miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DAMIAN
Подростковая литература⚠️ CERITA INI MENGANDUNG KEKERASAN SEKSUAL, MENTALHEALTH, SELFHARM, CACIAN DAN KATA-KATA KASAR. TOLONG BIJAK DALAM MEMBACA! Sudah end, belum direvisi! Awalnya kehidupan Keisya Amanda hanyalah kehidupan remaja pada umumnya. Ia gadis yang ceria, dan s...