9. Restu

321 38 15
                                    

Happy Reading!


MAWAR AZHARA

Lima menit sebelum jam pulang kerja tadi, Awan tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Katanya mau memastikan aku tidak kabur dari janjiku untuk malam ini. Padahal aku tidak pernah merasa berjanji apapun. Aku juga tidak berniat kabur, aku hanya merasa kurang pantas. Kemunculan Awan ini tentu membuat kehebohan di antara rekan kerjaku. Mereka sepertinya sibuk berbisik saat akhirnya Awan membuntutiku selama berjalan menuju pintu utama kantor warehouse. Aku merasa seperti menjilat ludahku sendiri. Sejak awal, aku selalu bilang ke semua rekan kerjaku, khususnya Bu Lana, kalau aku tidak akan ikut-ikutan dalam ambisi mengejar Awan seperti yang mereka lakukan. Dan hari ini tiba-tiba semua orang bisa melihat betapa manisnya sikap Awan yang bahkan sampai membukakan pintu mobilnya untukku.

Pulang kerja, Awan ternyata mengajakku mampir di suatu butik dan memilihkan sebuah dress yang menurutnya akan disukai Ibu dan adiknya. Aku menurut saja. Meskipun aku belum berani menebak apa maksud Awan melakukan semua ini. Lagi, aku belum mau terlalu berharap.

Aku menganggap semua ini sebagai rasa terima kasih dari Awan karena aku tidak jadi memisahkannya dengan Rendra. Pasti karena itu.

Pikirku, setelah dari butik kami akan langsung ke rumahnya, ternyata Awan masih mengantarku pulang. Awan dengan keras kepalanya ingin membawa Rendra. Jadi selama di rumah, aku disibukkan dengan memilih baju terbaik untuk dipakaikan ke pangeran kecilku. Sementara itu, Awan berbincang dengan Abah sambil menikmati teh dan roti sisir yang Umma beli di warung. Malam ini, aku tidak melihat canda tawa di antara Abah dan Awan. Mereka tampak serius sekali membicarakan sesuatu. Ada satu kali Abah menepuk pundak Awan, dan saat itu juga aku melihat Abah menitikkan air mata yang langsung beliau seka sendiri. 

"Ayo berangkat, Pa!" Rendra yang sudah begitu tampannya langsung bergelayut di lengan Awan yang masih berbincang dengan Abah di ruang tamu. 

Awan mengacak rambut Rendra kemudian, rambut yang sudah susah payah kusisir rapi itu akhirnya agak berantakan lagi. Untung Rendra masih tampan dengan ulah Papanya-- Awan maksudnya.

"Mawar berangkat ya." Aku menyalami Abah dan Umma yang sudah berdiri sejak tadi.

Perasaan malam ini aku hanya akan memenuhi undangan Awan, tapi rasanya kenapa seperti haru sekali. Umma bahkan memelukku agak lama setelah kukecup punggung tangannya tadi.

"Kami berangkat ya Abah, Umma. Assalamualaikum!"

"Waalaikum salam."

"Hati-hati di jalan ya, Mas!"

Setelah sesi pamitan yang entah kenapa terasa sangat haru itu, kami memang langsung berangkat ke rumah Awan. Sepanjang jalan, Awan tidak seperti biasanya, malam ini dia mendadak jadi pendiam. Dahinya sering berkeringat, padahal di luar sedang dingin karena baru turun hujan. AC juga sudah disetel cukup dingin.

"Kamu gak papa, Wan?"

Awan mengangguk, menoleh ke arahku sekilas, tersenyum, lalu kembali fokus pada jalanan di depan. Setelah itu hening lagi. Awan begitu fokus dengan jalanan, Rendra sepertinya tertidur, dan aku bingung harus berbuat apa. Tapi yang paling ingin kulakukan sebenarnya adalah menangkan Awan yang jelas sekali semakin tegang. Tangan kirinya yang bertumpu di arm rest menunjukkan ketegangannya. Tangannya mengepal keras sambil sesekali meremas permukaan arm rest. Awan mendadak diam saja aku khawatir, apalagi ditambah gerakan-gerakan aneh yang mengusik mataku itu.

Wajah Awan tiba-tiba menoleh saat kugenggam tangan kirinya. Dia tak bereaksi apapun. Perlahan dapat kurasakan dia ganti menggenggam tanganku. 

Kami lalu sampai di sebuah gapura yang cukup besar, lebarnya mungkin lima kali lipat gang rumahku. Di salah satu sisi gapura itu ada sebuah bangunan yang sepertinya adalah pos satpam. Awan menurunkan kaca di sampingnya dan menyapa bapak-bapak berseragam kuning yang tampak sedang menyeduh kopi di depan bangunan tadi.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang