12. Dingin

493 39 17
                                    

MAWAR AZHARA

"Pisah?"

Awan memiringkan senyum, "kaget? Lebih kaget mana dengan gue tadi malam? Gue udah percaya sama lo, Mawar. Ternyata selama ini yang lo bawa cuma kebohongan."

"Maaf, Wan. Aku gak pernah bermaksud mau ngebohongin kamu."

"Tiga tahun kita kenal, Mawar! Kalau lo gak bermaksud bohong, lo punya waktu tiga tahun itu untuk ngasih tau gue kebenarannya. Kenapa baru tadi malem lo jujur? Kenapa baru setelah menikah? Selamat ya, jarang ada orang yang bisa bohongin gue selama itu. Mungkin bener kata Andika malam itu. Lo itu gak lebih dari seorang perempuan licik."

Perkataan Awan menyakitkan, tapi dia tidak salah. Semua ini kesalahanku. Aku langsung bersimpuh dan meraih tangannya. Memelas agar dia bisa kembali percaya.

"Awan, maaf. Tapi aku gak ada sedikitpun niat licik."

"Keluar."

Awan sama sekali tak menengok saat aku menggenggam tangannya dan menangis disana.

"Wan, tolong kasih aku kesempatan."

"Buat apa? Bohongin gue lagi?"

"Aku siap menceritakan semuanya, Wan. Semua yang belum kamu tau."

Awan malah menggeleng beberapa kali, "lo sembunyiin apa lagi, hmm? Kalau lo mau jujur sehari aja sebelum kita menikah, mungkin semua itu akan lebih gue hargai. Tapi sekarang apapun itu udah gak penting. Tujuan licik lo udah kelihatan."

Tanganku lalu ditepisnya keras-keras sampai badanku ikut tersentak. "Sekarang gue minta lo keluar."

"Wan..."

"Keluar!"

Sambil terisak aku akhirnya berjalan ke arah pintu dan keluar sambil coba menenangkan diri. Beruntung aku tak bertemu siapapun di lorong. Aku mengusap wajah sambil mencari keberadaan Rendra. Dia ternyata sedang mengobrol dengan Kanaya yang tengah menggendong anaknya di dekat kolam ikan. Disana ada suami Kanaya juga, aku jadi sungkan untuk bergabung. Akhirnya aku menuju ke gazebo dimana Umma sedang duduk sendirian karena Abah tadi kulihat sedang berbincang dengan orang tua Awan.

Begitu sampai, aku tak bisa menahan diri untuk tak memeluk Umma. Aku menangis lagi dalam dekapannya. Beliau memupuk punggungku menenangkan. 

"Kenapa, nduk?"

"Mawar bikin Mas Awan marah, Umma."

"Jadi benar dugaan Umma. Tadi pagi itu jadi suami kamu dari mana?"

"Gak tau. Mas Awan pergi semalaman."

Umma menghela nafas lalu mempererat dekapannya. 

"Menikah itu ibadah yang panjang, jadi jangan kaget kalau kamu akan menemui pertengkaran. Apalagi kalian sama-sama masih belum pernah punya pasangan, pasti masih perlu menyesuaikan diri waktu ada orang asing masuk ke kehidupan kalian. Sekarang yang sabar ya. Nanti kalau suami kamu sudah tenang, kamu minta maaf kalau memang ada salah."

"Mawar sudah minta maaf berkali-kali. Tapi Mas Awan kayaknya beneran kecewa banget."

"Kamu berbuat salah apa sebenarnya? Kenapa suami kamu sampai semarah itu?"

Mendadak aku ragu untuk mengatakannya. Pasti Umma juga akan ikut kecewa dengan kecerobohanku selama ini.

"Tentang orang tua Rendra yang sebenarnya, Umma."

"Astaghfirullah, Mawar. Awan belum pernah kamu kasih tau?"

Mendengar nada kekecewaan itu aku semakin terisak. Memang bodoh sekali aku selama ini menutupi semua itu dari Awan. 

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang