~20 Tahun yang Lalu~
Rasanya semua orang di dunia akan setuju, siapa yang dilahirkan lebih dulu maka dirinya lah yang akan menjadi seorang kakak. Sebuah sistem sederhana yang sepertinya digunakan oleh semua keluarga di muka bumi. Contoh gampangnya adalah Awan dan Angi. Salma melahirkan Awan dua jam sebelum buah hatinya yang lain, Pelangi, juga dilahirkan ke dunia. Semua setuju kalau disini, Awan lah sang kakak. Iya, kan?
Lalu bagaimana kalau sepasang kembar seperti Mawar dan Melati. Masih belum diketahui, siapa orang tua yang begitu teganya membuang kedua anak kembarnya. Tanpa sepucuk surat atau pesan apapun, dua bayi malang itu ditinggalkan begitu saja. Dan ya tentu, tidak ada yang tahu, bayi mana yang dilahirkan lebih dulu. Jadi siapa yang akan menjadi seorang kakak di antara mereka?
Metode apa yang dipakai Abah dan Umma untuk menentukannya?
Itu lah yang ada di pikiran Melati sore ini. Dia duduk termenung di pinggir lapangan, memandang ke arah tengah lapangan dimana teman-temannya sedang asyik bermain bola dengan bertelanjang kaki.
"Apa karena mungkin Abah lebih sayang sama Mawar, ya?" tanya Melati pada dirinya sendiri.
Melati masih terus saja memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak akan terlalu penting bagi orang lain, tapi baginya sangat membebani pikirannya. Ia masih penasaran kenapa orang tuanya menganggap Mawar lah yang lebih pantas menjadi kakak dan Melati sebagai adiknya. Apa pertimbangannya?
"Nih!"
Sebatang es lilin berwarna kuning cerah mengacung tepat di depan wajah Melati. Bocah delapan tahun itu menoleh ke arah siapa yang mengulurkan tangannya, tentu saja Mawar. Kembarannya itu sedang mengemut es lilin dengan warna yang sama.
"Kok bisa?" tanya Melati heran. Ia tadi memang lari ke lapangan karena sempat dibuat kesal oleh Umma. Cuma minta uang buat beli es lilin saja tidak dikasih.
"Bisa, lah! Makanya kamu jangan apa-apa ngambek. Bilang aja sama aku, pasti aku mintain ke Umma," jelas Mawar.
"Kalau kamu yang minta sih pasti dikasih sama Abah dan Umma."
Melati sudah menerima es lilin dari tangan kembarannya. Ia sudah membuka tali karetnya dan mulai menikmati rasa jeruk yang terasa disetiap jilatan.
"Makanya jadi anak yang rajin kayak aku," ucap Mawar dengan bangga.
Mendengar kembarannya berbicara dengan bangganya, Melati hanya bisa memutar bola matanya kesal. Ia sudah melakukan banyak hal untuk membuat Abah dan Umma terkesan, tapi memang di mata mereka, Mawar selalu saja lebih baik.
"Ututuh... masih ngambek lagi loh adekku ini," gemas Mawar sambil memeluk tubuh kembarannya erat-erat.
~13 Tahun yang Lalu~
Mawar dan Melati saling sikut-menyikut sejak masuk ke halaman rumah. Mereka masing-masing memegang brosur sebuah sekolah yang sangat mereka idam-idamkan sejak masuk kelas tiga SMP. MA Asiyah, sekolah yang sepertinya juga diimpikan banyak teman-teman mereka di kelas. Tidak heran juga, untuk seukuran sekolah swasta yang berbasis agama, MA Aisyah terbilang sangat modern. Fasilitas penunjangnya lengkap, gedungnya megah, apalagi alumninya keren-keren. Tapi sayang, uang sekolahnya lumayan mahal. Mawar dan Melati dari tadi sudah sadar dengan fakta pahit itu, makanya mereka saling lempar tanggung jawab untuk bicara ke Abah.
"Jadi gimana? Siapa yang mau bilang?"
"Kamu! Kamu kan yang lebih tua, Maw!"
"Gak bisa gitu dong, Melati. Kamu juga bantu ngomong."
"Aku bantu do'a."
"Lah, enak banget."
"Do'aku manjur, Mawar!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Rahasia
RomanceDari dulu aku mengagumi Awan, tapi tidak setelah kami menikah. Awan tidak sesempurna yang selama 12 tahun kukenal dari jauh. Awan sekarang tidak lebih dari seseorang yang dingin, angkuh, acuh, dan tidak berperasaan. Sepertinya perpisahan adalah yang...