16. Terlalu Cepat

297 51 27
                                    

AWAN MAHENDRA

Seperti yang kemarin Mawar bilang, dia gak pulang sampai keesokan harinya. Bahkan sampai malam kembali datang, dia belum juga kelihatan di rumah. Tapi dia masih mengangkat waktu gue telfon, katanya dia masih ingin di rumah orang tuanya. Sama sekali itu bukan masalah buat gue, toh ada dia di rumah juga mau ngapain?

Tapi gue sadar, tadi malem kayaknya gue kelewatan emosi sampai mengatakan hal yang harusnya gue pendem dulu. Gue masih kecewa dengan fakta yang Mawar sembunyikan selama ini. Gue juga gak main-main waktu bilang suatu hari nanti mungkin kami akan berpisah. Tapi tidak dalam waktu dekat maksudnya. Daging sate maranggi yang waktu itu jadi salah satu menu di pernikahan kami aja pasti masih nempel di usus tamu undangan, ya kali udah mau pisah, malu lah sama orang.

Satu hari tanpa Mawar, gak ada yang berubah di keseharian gue. Paling yang berubah hanya teh buatan dia yang absen di meja depan televisi. Teh hangat yang selalu dia buatkan di hampir setiap kesempatan gue nyantai di ruang tengah. Teh yang belum pernah gue sentuh apalagi sampai meminumnya. Anehnya Mawar gak pernah kapok bikinin teh yang sama besok harinya. Entah gimana lah cara berfikirnya.

Tiga hari kemudian Mawar belum juga pulang, dan kali ini dia mulai tidak mau mengangkat telfon. Gue udah coba beberapa kali tapi selalu dia tolak. Sialan, dipikir gue akan langsung peduli gitu?

Dan sampai seminggu kemudian Mawar belum juga pulang. Gue mulai gelisah disini, bukan berarti karena gue peduli dengan keadaannya ya. Gue lebih khawatir besok tiba-tiba datang surat dari pengadilan. Sekali lagi gue tekankan, bukan masalah gue gak mau pisah sama Mawar. Semua ini masalah waktunya yang terlalu cepat. Buku nikahnya aja baru jadi kemaren, ya kali langsung disusul surat perceraian. 

Gue mulai berfikir harus melakukan sesuatu. Mawar pergi ini pasti gara-gara omongan terakhir gue yang gue akui, emang keterlaluan. Gak seharusnya gue bilang begitu di awal-awal pernikahan kami, harusnya nanti dulu kalau waktunya udah tepat buat kami pisah.

Akar masalah dari semua ini tentu adalah masalah pekerjaan Mawar, jadi gue kayaknya tau harus mulai dari mana untuk menyelesaikannya.

"Nay, mau es krim gak?" tanya gue tanpa salam begitu Kanaya angkat telfon.

"Kenapa, Mas? Pasti lagi berantem sama Mbak Mawar terus mau aku bantu biar baikan, kan?"

Gila punya adek otaknya jalan banget. Atau emang kisah hidup gue yang mudah ditebak, ya?


~


MAWAR AZHARA

Rasanya sudah lebih dari seminggu aku merasa lebih tenang tinggal di rumah Abah. Setidaknya aku yang lebih tenang, beda dengan Rendra. Di dua hari pertama Rendra masih menanyakan tentang Awan, tapi biarin lah pikirku, nanti dia juga akan tambah terbiasa. Ternyata salah, sampai tadi malam Rendra masih saja bertanya kapan kira-kira Awan akan menjemput kami. 

Siang ini kegiatanku ya seperti biasa, menjemput Rendra di sekolah. Aku tidak menunggunya karena tadi aku ada panggilan untuk wawancara di salah satu toko yang berjualan berbagai alat elektronik. Itu adalah wawancara pertamaku sejak menganggur. Awalnya aku sangat berharap dengan pekerjaan itu, tapi setelah wawancara tadi, kayaknya aku yang harus mundur kalau misal lolos dan diterima kerja. Peraturannya agak aneh menurutku.

Sambil menunggu Rendra yang belum pulang, aku duduk di kursi kayu panjang yang ada di sisi luar pagar sekolahnya. Ada beberapa ibu-ibu juga seperti biasa. Lagi-lagi mereka menanyakan kabar suamiku yang katanya dua mingguan ini tidak kelihatan. Aku hanya bisa tersenyum merespon pertanyaan itu.

Di tengah obrolan itu, dua orang berboncengan motor berhenti di depan kami. Aku mengenal sekali sosok wanita yang dibonceng itu. Apalagi saat senyum manis khasnya dia perlihatkan.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang