32. Sakit

484 39 17
                                    

MAWAR AZHARA

Sebelum aku menikah, aku menceritakan semuanya pada Kanaya. Adik iparku itu sampai tidak percaya betapa baiknya takdir yang akhirnya mempertemukanku dengan Awan setelah bertahun-tahun. Aku fikir respon Awan akan sama dengan adiknya, bahkan aku berharap lebih dari itu. Tapi ternyata kejadian dua belas tahun lalu itu hanya menyisakan luka di punggungnya. Selain itu, sepertinya tidak terlalu berarti untuk Awan. Pantas saja dia tidak pernah mengenaliku di setiap pertemuan ajaib kami.

Tapi aku hanya kecewa karena ternyata belasan tahun aku mengingat Awan secara sepihak. Selebihnya aku bersyukur. Aku sudah cukup beruntung memiliki akhir yang baik seperti ini. Ya, aku sekarang yakin kalau Awan adalah yang terakhir. Semua perlakuan manisnya akhir-akhir ini memang tidak bisa menghapus ingatanku tentang keburukannya di awal pernikahan kami, tapi setidaknya dia tidak pernah mengulangi hal yang sama. 

Sepulang dari rumah Abah kemarin, Awan jadi sering melamun. Aku fikir kenapa, tapi kayaknya semua itu karena dia kecapekan bekerja. Malam harinya, Awan mendadak demam.

Aku cukup panik menghadapi situasi seperti ini karena memang pertama kalinya sejak kami menikah. Aku bahkan sudah membuang rasa sungkanku untuk menelfon Kanaya agar membantu membawa kakaknya ke rumah sakit. Tapi belum juga Kanaya menjawab, Awan sudah lebih dulu melarang adiknya itu untuk datang. Akhirnya aku hanya mengopres keningnya dengan kain basah, berharap demamnya turun di pagi hari.

Di pagi hari demamnya memang turun, tapi wajah Awan masih pucat. 

Dia masih berbaring saat aku masuk ke kamar. Melihatku datang, Awan tampak memaksa tubuhnya untuk bangun dan bersandar ke punggung ranjang. Aku percepatlah jalanku untuk membantunya, menyiapkan bantal sebagai sandaran yang lebih empuk.

"Rendra mana, Maw?" tanyanya dengan suara parau.

Aku tadi memang pamit untuk membangunkan Rendra. Ini hari minggu jadi alarmnya kumatikan biar dia istirahat. Tapi mengingat sudah mau masuk waktu sarapan, akhirnya kubangunkan.

"Baru bangun. Tadi aku suruh mandi dulu sebelum kesini."

"Aku mau makan sama Rendra," seraknya.

"Iya. Biar nanti aku sama Bi Dul siapin sarapan kalian disini."

"Sama kamu hari ini gak usah ke toko ya? Temenin aku di rumah."

Aku mengangguk sanggup. Memang niatku begitu. 

Ini lah kenapa aku tidak menuntut Awan untuk mengingatku sebagai bagian dari masa lalunya. Sekarang yang lebih penting adalah fakta bahwa kami sudah terikat sebagai suami-istri. Mau ingat atau tidak, ikatan kami itu sudah berlaku. Aku sudah cukup bersyukur untuk itu.

"PAPAAA!"

"Awhh!" keluh Awan saat badannya kudorong cukup keras. Lagian sudah aku bilang tadi, Rendra mau kesini, masih nyosor saja bibir pucatnya. Lagaknya sering bilang Saka mesum, dirinya sendiri sama.

Aku juga masih kaget dengan kemunculan Rendra yang tiba-tiba. Apalagi Bi Dul ternyata mengekor di belakang Rendra. Beliau membawa nampan dengan tiga piring yang sudah lengkap dengan menu sarapan pagi ini. Bi Dul tersenyum sepanjang langkahnya, memang biasanya seperti itu sih, tapi aku cemas juga kalau ternyata Bi Dul sempat melihat apa yang aku dan Awan lakukan tadi. Malu ah.

"Papa sakit apa?" tanya Rendra yang sudah naik ke atas ranjang dan duduk menghadap Awan.

"Papa lagi capek aja."

"Makanya Papa itu kalau malem tidur! Jangan malah be---."

Rendra tak melanjutkan ucapannya karena Awan langsung menarik dan memeluk tubuh mungilnya. 

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang