44. Menginap

329 22 10
                                    

"Aku cek di maps macetnya masih panjang, Mas."

"Gak masalah."

"Kamu laper nggak, Mas? Mau disuapin roti yang tadi?"

"Boleh deh, kamu makan juga ya."

"Kok kayaknya tambah parah ya di depan macetnya? Bisa tua di jalan ini kita."

"Gak papa. Kan emang tujuan hidupnya Mas adalah menua di samping kamu."

Awan mendadak mual mendengarkan obrolan dua orang yang duduk di baris ke dua. Bisa-bisanya di tengah kemacetan seperti ini Saka malah terang-terangan menggombali Kanaya. Mana mereka bicara seakan menjadi yang paling berjuang, padahal Awan yang dari tadi menyetir. 

Tingkah mereka tentu agak kontras dengan Awan dan Mawar yang justru tak banyak bicara sejak tadi. Meskipun hubungan mereka sudah jauh lebih baik, jarang sekali mereka mengumbar kemesraan di depan orang lain. Sekedar manggil sayang saja, Awan harus lihat situasi. Meskipun ada keinginan, Awan belum berani menunjukkan perhatiannya. Malah Ia dibuat heran dengan pasangan yang duduk di belakang, kenapa bisa merasa sebebas itu dalam menunjukkan kemesraannya? 

"Sak, lo gak ada niat gantian nyetir apa? Minimal pura-pura nawarin kek gitu."

"Nggak."

Memiliki ipar seperti Saka memang bisa menjadi ladang pahala untuk Awan. Tapi itu kalau Awan mau sabar dengan semua ulahnya. Masalahnya Awan juga gampang emosi, akhirnya bukan dapat pahala malah nambah dosa.

"Sebenernya gue mau gantian, Wan. Cuma lo liat sendiri jalanan kayak gimana. Kalau kita berhenti cuma buat tuker posisi, bisa-bisa kita malah digebukin pengendara lain di belakang."

Tapi Awan tak kehabisan akal. Ia sebenarnya ingin bertukar posisi bukan karena lelah di perjalanan panjang tadi. Awan lebih ke kurang nyaman mendengar kemesraan Saka dan Kanaya. 

"Di depan ada pom bensin. Kita bisa masuk kesana dulu buat tuker posisi. Gimana?"

"Boleh. Lagian lo ngapain ngotot banget mau tuker? Emang mau mesra-mesraan juga? Lo duduk di belakang juga paling mau tidur kayak tadi pagi."

"Sekali lagi ngomong gue lempar galon lo, Sak!"

"Jangan jahat-jahat banget, Mas. Suami aku loh ini."

Awan memutar bola matanya malas. Tingkah Kanaya sama saja seperti suaminya.

Mereka berempat baru saja pulang dari luar kota untuk menghadiri resepsi pernikahan salah satu teman Awan dan Saka waktu SMA dulu. Sejak pagi mereka berangkat karena perjalanannya memang membutuhkan waktu 3 jam lebih. Sebelumnya mereka sudah sepakat, Saka menyetir saat berangkat, lalu ganti Awan yang menyetir di perjalanan pulang. Hanya saja kesepakatan itu agak disesali oleh Awan sepertinya. Ia tidak bisa fokus dengan jalanan karena mendengarkan obrolan adik dan iparnya yang malah terdengar seperti pengantin baru di belakang. Padahal pernikahan mereka sudah jauh lebih lama dibandingkan pernikahan Awan dan Mawar. 

Setelah berjam-jam melintasi jalanan yang macet karena ada perbaikan jembatan, mobil mereka akhirnya kembali dapat melaju dengan kecepatan normal. Awan melajukan mobil itu ke rumah orang tuanya, Saka dan Kanaya akan menginap disana malam ini. Baru setelah dari sana, tujuan selanjutnya adalah rumah mertuanya. Rendra mereka titipkan disana sejak pagi. 

Sejak melihat Awan turun dari mobil, Rendra sudah berlari ke arahnya untuk menagih oleh-oleh. Sesuai janjinya tadi pagi, Mawar menunjukkan dua buah paper bag yang berisi beberapa kotak bolen pisang. Anak itu menerima dengan sumringah lalu membawakannya ke dalam rumah.

"Nginep disini dulu aja kalau capek. Besok kan hari minggu," tawar Abah saat mereka semua sudah berkumpul di ruang tamu. 

"Mawar ikut Mas Awan aja, Bah."

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang