Sudah lewat empat bulan lamanya Awan, Saka, dan Kian bekerjasama mencari informasi tentang keberadaan Andika. Hampir semua orang yang pernah berhubungan dengan Andika sudah mereka tanyai. Tidak satupun dari mereka yang memberikan informasi berarti. Bahkan setelah dijanjikan pekerjaan dan sejumlah uang, mereka lebih memilih bungkam, entah karena memang tidak tahu atau sebagai bentuk kesetiaannya pada si Andika.
Andika sepertinya juga sudah merasa kalau tengah menjadi target pencarian. Ia jago sekali bersembunyi dan menghilangkan jejak. Setelah banyak cara yang Awan, Saka, dan Kian upayakan, tidak ada satu pun hasil yang pantas untuk mereka banggakan.
"Ini kesempatan terakhir kita, Wan. Gue udah gak ngerti lagi harus hubungin siapa setelah ini," kata Saka via telfon.
"Lo atur aja, Sak. Kabarin gue apapun hasilnya."
"Pasti. Gue tutup dulu ya, Wan. Anak gue nangis, ini Naya belum selesai mandi."
"Yoi, Sak."
Setelah panggilan itu ditutup, Awan meletakkan ponselnya di atas permukaan sofa. Dengan kedua tangannya, Ia meraup muka penuh frustasi. Sudah banyak cara yang Ia lakukan, tapi Andika belum juga terendus keberadaannya. Awan mulai khawatir dengan kapasitas otak yang lawannya ini miliki. Bahkan dengan gabungan otak encer miliki Saka dan Kian saja, tidak berhasil memecahkan teka-teki keberadaan sang target.
"Pa!"
Rendra menghampiri Awan sambil membawa sebuah buku mewarnai berukuran A3. Dari tadi memang anak itu sedang mengerjakan tugasnya untuk mewarnai gambar beberapa jenis ikan.
"Kenapa, Ren?"
Bocah itu menyerahkan bukunya sehingga terpampang sebuah halaman dengan beberapa gambar ikan di dalamnya. Hampir semua ikan semua sudah terisi dengan beragam warna. Tinggal satu ikan saja yang belum Rendra warnai.
"Kenapa ini belum dikasih warna?" tanya Awan sambil meletakkan telunjuknya tepat pada gambar yang masih polos.
"Nah itu, Pa. Itu ikan apa? Rendra bingung mau kasih warna apa."
"Kasih aja warna biru. Katanya kamu suka warna biru."
Mendadak Rendra merengut, "Papa gak nyimak tugasnya Rendra, ih! Coba inget-inget tadi Bunda bilang apa?"
Awan mengingat kembali ucapan istrinya sebelum Ia pulang membawa Rendra dari toko tadi.
"Katanya besok Bunda pengen dianter ke pasar."
"Bukan itu, Pa! Yang tentang tugasnya Rendra!"
Lagi-lagi Awan menurut karena muka anak itu tampak semakin masam. Ia berpikir lebih keras lagi untuk mengingat ucapan Mawar tadi.
"Inget ya, Mas, tugasnya Rendra itu mewarnai sesuai huruf pertama hewannya. Misal, hiu huruf pertamanya H, berarti dikasih warna hijau, udang huruf depannya U, dikasih warna ungu. Dicek ya nanti kerjaannya! Awas aja kalau sampai kamu salah ngasih arahan. Aku tolak semua setoran kamu selama satu bulan kedepan!"
"Inget, Pa?" tanya Rendra dengan kedua alisnya yang menyatu.
Awan cuma bisa nyengir kuda sambil mengangguk sebagai jawaban. Untung saja Rendra mengingatkan. Hampir saja ancaman Mawar menjadi kenyataan. Istrinya itu memang mulai berani akhir-akhir ini. Mungkin karena rasa canggungnya sudah hilang, Mawar jadi tidak pernah ragu lagi untuk mengancam suaminya kalau membuatnya kesal. Ancamannya juga gak main-main. Kayak tadi misalnya, bisa-bisanya Mawar bilang mau menolak semua setoran selama sebulan kedepan.
Sebenarnya Awan tidak keberatan kalau batasannya dengan Mawar semakin tipis. Hanya saja sekarang Mawar semakin brutal dalam urusan merepotkan suami. Kalau cuma minta dimasakin mi instan sambil nyanyi seriosa mah gampang, Awan sudah pengalaman. Ini pernah tengah malam tiba-tiba Mawar membangunkannya. Dipikirnya mau apa, ternyata hanya ingin melihat bekas luka di punggung Awan. Jadi lah Awan harus lepas baju di tengah dinginnya malam. Mending kalau setelah itu dipeluk-cium, ini cuma dipelototin sampai Mawar puas dan mau tidur lagi. Kan nanggung ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Rahasia
RomanceDari dulu aku mengagumi Awan, tapi tidak setelah kami menikah. Awan tidak sesempurna yang selama 12 tahun kukenal dari jauh. Awan sekarang tidak lebih dari seseorang yang dingin, angkuh, acuh, dan tidak berperasaan. Sepertinya perpisahan adalah yang...