2. Awal Rasa

582 33 10
                                    

Happy Reading!


AWAN MAHENDRA

Bangun tidur siang hari ini rasanya agak beda. Mungkin karena bangunnya di ranjang rumah sakit kali ya? Semua ini gara-gara Ayah. Gue udah bilang untuk gak perlu ke rumah sakit, toh gue masih bisa jalan, masih bisa makan, segalanya masih normal. Cuma apa sih? Luka yang katanya sepanjang 24cm di punggung. Sepele lah. Sayangnya Ayah gak berpikiran seperti itu. Ayah tadi malam langsung bawa gue ke rumah sakit. Dan terjadilah sesi perawatan luka itu. Luka gue dijahit tanpa persetujuan pemiliknya.

Dan disinilah gue sekarang, kamar yang kayaknya beberapa bulan yang lalu juga pernah gue tempati. Setelah tawuran sebelumnya. Waktu itu kepala gue sedikit bocor gara-gara seorang pengecut yang ngelempar batu dari kejauhan, habis itu dia lari sebelum gue tahu wajahnya.

"Pak Arif?"

Seorang suster tiba-tiba masuk kamar tapi hanya berhenti di bingkai pintu setelah memanggil nama Ayah.

"Iya kenapa, sus?"

"Jam setengah empat nanti dr Fahri minta bapak ke ruangannya."

"Oke, sus."

Setelah mendengar kesanggupan Ayah, suster itu keluar kamar. Sekarang gue malah penasaran. Perasaan gue cuma habis jahit luka, kenapa sampai Ayah dipanggil ke ruangan dokter? Seakan-akan ada hal yang sangat penting yang harus dibicarakan empat mata.

"Ada apa ya itu, Mas?" tanya Ibu yang sedang memangku Kanaya, kayaknya Ibu juga cemas dengan sesuatu yang akan dibicarakan oleh dr Fahri.

"Oh nggak, itu dr Fahri kemaren bilang pengen buka usaha. Paling dia mau ngajakin aku buat tanam modal di usahanya."

"Ayah kok bisa deket sama dr Fahri sampe diajakin patungan buat modal usaha?"

Gue beneran gak paham. Karena Ayah ini orangnya kalau sudah di rumah ya bakal di rumah terus sampai berangkat lagi kerja besoknya. Bukan tipe orang yang nongkrong sana-sini. Jadi ya aneh aja kalau tiba-tiba ada orang asing yang dekat dengan Ayah dan tiba-tiba mengajaknya buka usaha. Kayak bukan Ayah gue banget.

"Gak usah sok heran kamu, Wan! Ini ya gara-gara kamu!"

Lah kok gue? Apa salah gue yang dari semalem cuma bisa tidur tengkurep ini?

"Kalau kamu gak langgananan masuk rumah sakit, Ayah gak mungkin bisa banyak kenal dokter disini!"

Gue tambah membenamkan wajah ke bantal. Eh tapi kalau dipikir lagi berarti selama gue masuk rumah sakit ini dapet pahala jariyah dong? Karena jadi membuka tali silaturahmi antara Ayah dengan orang-orang baru. Keren banget emang lo, Wan! Sakit aja bawa berkah.

"Assalamualaikum!"

Gue menengok ke pintu, Angi sudah berjalan mendekatiku sambil membawa sekantong makanan ringan. Adek gue yang terbaik emang!

"Waalaikumsalam."

Di belakang Angi tentu saja Saka mengekor. Mata gue udah mulai terbiasa dengan pemandangan ini. Perlu waktu memang untuk bisa menerima hubungan mereka, tapi sekarang gue udah lebih ke bodo amat yang penting Angi seneng. Dan kayaknya Saka emang paling jago bikin adek gue seneng, jadi ya sudah. Gue harus gimana lagi? Apalagi sejak ada Saka, gue juga sering ada lawan sepadan buat main PS di rumah.

"Om Sakaaa!"

Nah ini yang gue gak suka. Kanaya, adek gue yang masih SD jadi nempel juga sama dia. Salah gue juga sih kayaknya. Awalnya gue nyuruh Kanaya biar selalu minta ikut kalau Saka ngajak Angi jalan, eh kayaknya si Kanaya juga ikut nyaman sama dia. Lama-lama tanpa disuruh Kanaya minta ikut sendiri.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang