20. Pahitnya Malam Pertama

589 53 24
                                    

MAWAR AZHARA

Awan menoleh ke podium, "tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada Pak Ashari. Mohon maaf saya tidak bisa menerima tawaran tersebut."

Penolakan itu tentu direspon dengan berbagai ekspresi para tamu yang seperti kaget dengan keputusan Awan. Aku bahkan juga kaget. Ini kesempatan besar buat dia. Bukan cuma masalah gaji dan benefit yang pastinya lebih besar disana, tapi juga masalah hubungan kami. Kami akhirnya bisa menemukan alasan untuk berpisah kalau Awan bersedia menerima tawaran itu.

Tak disangka Pak Ashari malah bertepuk tangan, otomatis semua orang mengikutinya meskipun mereka sepertinya bingung apa tujuannya.

"Saya tadi bercanda, Pak."

Beda ya bercandanya orang berduit. Bukannya ketawa, lemas lututku yang ada.

"Saya salut sama Pak Awan, ternyata beneran sayang keluarga. Ditawari pindah ke Global Head Office malah gak mau."

Sepertinya bukan masalah sayang keluarga. Entah lah. Aku bingung kenapa Awan malah menolak tawaran sebesar itu.

"Anak bapak ini siapa namanya?" tanya Pak Ashari sambil menengok Rendra yang sedang memeluk kaki Awan. Sepertinya dia masih mengira kalau Awan akan pergi.

Awan melirikku sekilas, "Rendra, Pak."

Pak Ashari mengangguk sambil tersenyum, "saya ganti penawaran tadi dengan beasiswa pendidikan untuk Rendra sampai lulus S-1."

Sontak tepuk tangan semua orang memenuhi aula kembali. Aku malah hanya bisa melongo sambil mencerna maksud Pak Ashari tadi. Beliau seperti tidak berfikir dulu sebelum mengucapkan kalimat yang sangat berarti itu. 

Aku akhirnya bersimpuh dan memeluk Rendra. Dia sendiri sebenarnya masih tak mau melepas pelukannya dari kaki Awan. Sepertinya masih mengira kalau Awan akan pergi.

"Rendra lepas, dong. Peluk Bunda aja," bujukku. Tetap saja Rendra mengeratkan pelukannya.

"Papa gak jadi pergi kok itu," kataku. 

Akhirnya Rendra mau sedikit merenggangkan pelukannya dan mendongak menatap Awan.

"Bener, Pa?"

Awan hanya mengangguk, tak menjawab. Dia berhasil membuatku kebingungan sendiri dengan kelakuannya hari ini. Satu sisi dia seperti sudah mulai melunak, tapi sifat kerasnya seperti masih menempel.

~

Acara siang itu akhirnya berakhir sekitar dua jam kemudian saat Pak Ashari dan beberapa rekannya meninggalkan aula. Sekitar lima menit kemudian, para tamu juga mulai meninggalkan meja mereka masing-masing.

Aku sendiri langsung bergegas ke toilet begitu acara tadi selesai. Rendra aku titipkan ke Awan yang masih berbincang dengan teman-temannya di meja.

"Mawar," sapa seseorang saat aku tengah mengusap tanganku dengan tisu. 

Dari cermin besar di depanku, aku bisa melihat Affisya berjalan ke arahku lalu berdiri tepat di sebelahku. Dia lebih memilih untuk menatap bayanganku di cermin. Aku sebenarnya merasakan perbedaan sikapnya sejak aku maju ke depan para undangan tadi. Dia mendadak diam ketika aku sudah kembali ke meja. Padahal awalnya dia ramah sekali menyambutku. 

"Belum pulang, Cha?" tanyaku basa-basi.

Affisya memiringkan senyum, "bisa dilihat kan gue sekarang disini, Maw."

"Ada apa ya, Cha?" 

Dia sejak tadi berdiri saja di sampingku tanpa melakukan apapun. Menyalakan keran pun tidak. Sejak tadi dia hanya menatap bayanganku yang ada di cermin.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang