MAWAR AZHARA
"Halo, Mbak!" sapa Kanaya yang keluar dari mobilnya dan menghampiriku yang baru saja membukakan gerbang.
"Naya?"
Aku tidak tau kalau hari ini Kanaya dan Saka akan berkunjung ke rumah. Awan juga tidak ada bilang apapun. Mungkin mereka tiba-tiba saja ya memutuskan untuk mampir.
"Mas Awan mana?"
"Ada tuh di dalem. Masuk yuk!"
Gerbang kubuka lebih lebar lagi agar Saka bisa memasukkan mobilnya ke halaman. Begitu masuk, gerbang itu kututup lagi dan menguncinya seperti semula.
"Kalau Rendra ada?"
"Ada."
"Nah ada tuh. Angi main sama Mas Rendra ya nanti," kata Kanaya yang disambut tawa menggemaskan anaknya.
"Ren, ada Tante Nay nih!" panggilku, tadi Rendra sedang main puzzle di ruang tamu, tapi entah lah sekarang kemana.
"Kalian duduk aja, aku panggilin Awan dulu ya."
Belum juga aku beranjak dari ruang tamu, Awan sudah turun dan berjalan menghampiri kami. Seperti biasa, dia melewatiku begitu saja dan duduk di sofa dekat adiknya. Dia langsung mengambil alih Angi yang sebelumnya digendong Kanaya.
"Aku buatin teh dulu ya buat kalian."
Kanaya dan Saka kompak tersenyum, sedangkan Awan sudah terlalu asyik bercanda dengan keponakannya sampai tak mendengar ucapanku. Atau mungkin dia sebenarnya dengar, tapi mengacuhkanku seperti biasa.
"Loh, Rendra kok disini? Ada Tante Nay sama Om Saka tuh di depan. Katanya kangen dedek bayi," tanyaku saat menemukan Rendra sedang duduk termenung di meja makan. Mendengar pertanyaanku Rendra malah membenamkan wajahnya di tangannya yang bersedekap di atas meja.
Ada yang tidak beres. Aku akhirnya menggeser kursi tepat ke sampingnya dan merengkuh tubuh mungilnya ke dalam pelukan.
"Rendra kenapa, sayang?"
"Ada Papa ya di depan, Bun?"
"Ada. Papa lagi gendong Adek Angi. Kamu kesana gih, salim sama Om-Tante dulu."
Rendra menggeleng pelan.
"Bunda boleh gak ajak Tante Nay kesini aja?"
"Kenapa gitu sayang? Tante Nay kan tamu, gak enak dong kalau langsung Bunda ajak ke dapur."
"Rendra kangen sama dedek bayi tapi takut kalau ada Papa. Nanti Papa marah lagi sama Rendra."
Sesak sekali aku mendengarkan perkataan Rendra barusan. Bisa kurasakan air mataku mengalir begitu saja barusan. Rendra sampai takut begini untuk sekedar ketemu dengan Awan. Pasti gara-gara kejadian tadi malam waktu Awan menyentaknya.
Aku akhirnya hanya bisa mempererat dekapanku dan mengecup pucuk kepalanya.
"Tadi malam itu Papa lagi capek, Ren," ucapku kesekian kalinya, mungkin Rendra juga sudah bosan dengan alasan bualanku.
"Kapan Papa gak capeknya Bun? Rendra kangen main sama Papa."
"Sekarang kan hari Sabtu, mungkin Papa lagi seneng kan hari libur."
"Beneran, Bun?"
Aku mengangguk, tersenyum karena Rendra terdengar antusias, "Bunda mau siapin minuman dulu, ya. Nanti ikut Bunda ke depan."
"Okey, Bunda."
Selama membawa nampan ke ruang tamu, Rendra berjalan tepat di belakangku. Dia mencengkram rokku jadi aku tidak bisa berjalan cepat-cepat takutnya malah jatuh. Kayaknya Rendra masih takut dengan sikap yang mungkin akan ditunjukkan Awan sore ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Rahasia
RomanceDari dulu aku mengagumi Awan, tapi tidak setelah kami menikah. Awan tidak sesempurna yang selama 12 tahun kukenal dari jauh. Awan sekarang tidak lebih dari seseorang yang dingin, angkuh, acuh, dan tidak berperasaan. Sepertinya perpisahan adalah yang...