17. Karena Saka?

296 51 25
                                    

AWAN MAHENDRA

Tadi sore Kanaya mengabari kalau Mawar sedang di rumah Ayah, jadi sepulang kerja tadi gue gak berfikir dua kali untuk putar setir kesana. Hari ini kami harus bertemu. Bukan. Bukannya gue kangen atau apa lah. Gue cuma perlu menjelaskan lagi ke Mawar kalau maksud pisah yang gue bilang sebelumnya itu beneran, cuma jangan cepet-cepet lah. Kasih waktu biar semuanya mengira pernikahan kami baik-baik saja. Setelah semuanya mulai lengah, baru deh kami bisa pisah.

Begitu masuk rumah, bertepatan semuanya baru saja selesai makan malam. Ibu langsung menyuruh gue duduk makan dulu. Sekilas tadi gue lihat Mawar agak kaget begitu tiba-tiba gue muncul di rumah ini. Tapi setelah itu dia langsung berjalan mendekat dan meraih tangan gue yang belum siap saat tiba-tiba dia menyalaminya. Pake acara cium tangan segala lagi. Habislah gue diejek Kanaya yang meskipun sudah jadi ibu-ibu, aura bocilnya masih mendominasi.

Setelah itu gue duduk sendirian di meja makan. Mawar lagi ngobrol sama Kanaya di ruang tengah. Rendra diajak Ayah ke depan rumah tadi, gak tau mau kemana. Sementara Ibu tampak sibuk memindahkan beberapa makanan ke dalam beberapa paper box. Kebiasaan Ibu sejak lama ya begini kalau masak untuk makan malam. Porsinya dilebihin, nanti sisanya buat satpam depan sama orang-orang yang ngeronda. Isi paper boxnya juga selalu sama dengan yang kami makan. Malam ini ada udang saus mentega sama orek tempe. Lumayan lah makanan seenak dengan porsi sebanyak ini kalau beli di luar bisa di atas tiga puluh ribu seporsinya. Baik banget emang Ibu gue tuh. Pinter masak pula.

"Cepet dihabisin makanannya, jangan senyum-senyum terus!" perintah Ibu yang tadi sekilas melirik saat gue belum berhenti memandangi wajah cantiknya yang belum pudar di usia paruh baya sekarang. Berhubung sekarang gue tinggal di rumah sendiri, gue jadi kangen momen makan di rumah ini lagi. Setelah lamunan singkat itu, gue lanjut dengan suapan yang kesekian kalinya. Masih sama rasa masakannya, malah tambah kerasa nikmatnya.

"Enak?" tanya Ibu saat melihat gue selesai menenggak segelas air putih sebagai penutup sesi makan malam.

"Enak. Ini sisa udangnya boleh Awan bawa pulang aja buat sarapan besok?"

Ibu sedikit berjinjit untuk melihat sisa udang yang gue maksud. Tinggal sedikit, tapi masih cukup sih untuk satu kali makan ini. Buat putra kesayangannya apa yang nggak kan?

"Jangan! Itu sisanya buat Saka aja."

Loh? Malah mantu alaynya itu yang dipikirin.

"Tapi ini masih ada udang mentahnya. Kamu bawa pulang aja biar dimasakin istrimu besok."

"Gak usah deh, Bu. Lagian kalau Mawar yang masak pasti nanti beda rasanya."

"Lah itu tadi masakan Mawar."

Gak salah?

Ya memang sih selama ini penciuman gue baik-baik saja. Dan gue pasti bisa mencium aroma lezat setiap kali dia menyiapkan sarapan di pagi hari. Cuma ya karena gue memang gak pernah nyicipin, gue malah baru tau kalau rasanya juga ya... lumayan lah.

"Mawar!" panggil Ibu tiba-tiba.

Mawar yang pasti mendengar panggilan itu akhirnya setengah berlari menghampiri Ibu yang masih di posisinya. 

"Kenapa, Bu?"

"Nanti kalau pulang jangan lupa udang yang sisa tadi kamu bawa pulang ya. Awan minta dimasakin kayak tadi buat sarapan."

Gue cuma bisa menutup muka waktu Ibu tanpa koordinasi dulu malah tiba-tiba bilang begitu. Malu lah. Pasti Mawar sepulang dari sini langsung mikir aneh-aneh. Dipikirnya pasti gue suka masakan dia.

"Hmm... kayaknya malam ini Mawar gak ikut Mas Awan pulang dulu."

"Loh kok gitu?"

Jangan bilang Mawar mau mengadu kalau seminggu lebih ini dia gak pulang ke rumah dan gue sama sekali gak ada usaha buat bujuk dia. Bisa habis gue dirujak semalaman. Apalagi kalau Ayah tau habis ini. Bisa langsung dapat kuliah 12 sks sekalian dengan praktikumnya.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang