61. Bijak

304 63 20
                                    

HAPPY READING

AWAN MAHENDRA

"Gue mau kasih tau asal lo janji, Wan, jangan pake kekerasan!" Mulai tadi telfonnya gue angkat, entah sudah berapa kali Kian memperingatkan agar gue pakai otak kali ini.

"Lihat nanti, Ian. Gue gak janji dateng kesana sambil bawa bendera putih."

Sebenarnya berkat kedatangan Mawar dua minggu yang lalu, gue mulai bisa menebak di mana dia sembunyi selama ini. Meskipun Mawar malam itu berhasil mengancam agar gue gak ngikutin dia seperginya dari rumah, tapi bukan berarti gue gak bisa mengintip siapa yang menunggu dan akhirnya membonceng Mawar.

"Lo kenal orangnya, Wan. Makanya gue khawatir lo akan macem-macem nanti. Tolong sabar ya, Wan. Tenang aja pokoknya. Ingat, orang sabar disayang..."

"Tuhan?"

"Mawar, bego!"

"Garing."

Misal ada di posisi melihat sosok yang paling dicinta ternyata lagi sama orang lain, apa gue harus datang ke mereka sambil nunjukin senyum selebar dan setulus mungkin, lalu memeluknya? Nggak, kan? 

Kalau di keadaan seperti itu, tiba-tiba ada temen yang bolak-balik nyuruh biar tenang dan sabar, enaknya diapain? Pengen gebukin? Sama, pengen banget melakukan tindak kekerasan.

"Intinya pakai kepala dingin, Wan. Takutnya Mawar tambah ilfeel ngelihat lo."

"Kevin kan, Ian? Langsung aja gak usah kebanyakan ceramah," potong gue akhirnya. 

Meskipun cuma melihat dari jauh, mudah banget nebak siapa yang membonceng Mawar malam itu. Motor matic warna merahnya juga gue hafal banget gara-gara sering gue lihat di parkiran sekolah Rendra.

"Gue agak lupa namanya, Wan, yang jelas lo pernah cerita kalau dia gurunya Rendra." 

Bener kan dugaan gue, waktu itu Mawar ditunggui Kevin. Pantes terakhir kali gue minta tolong biar Rendra dia bawa pulang, Kevin ngotot nolak. Ternyata ini alasannya, Kevin takut gue tau kalau dia sembunyiin Mawar di tempatnya.

"Wan!"

"Iya?"

"Waktu gak sengaja ketemu tadi, Mawar kelihatan gak ada beban sama sekali. Dia bisa ketawa-ketawa bareng si siapa itu. Kalau dibandingin sama keadaan lo yang udah kayak mayat dipinjemin nyawa gini, jomplang banget."

"Ya terus gue harus gimana, Ian? Gue harus munafik dan pura-pura bersyukur karena Mawar udah bahagia gitu? Masalahnya dia bahagianya sama orang lain."

"Lo bener-bener egois, Wan."

Shit!

Gak tau lah Kian orang keberapa yang ngatain gue egois akhir-akhir ini. Apa keegoisan gue separah itu? Soalnya gue sendiri ngerasa ini masih wajar dan rasional. Gue mau Mawar bahagia, mau banget! Cuma kalau gue lebih dari mampu buat bahagiain dia, kenapa harus rela dia dibahagiakan orang lain? 

Tok tok tok...

Masih menahan ponsel di telinga, gue mengalihkan pandangan ke pintu yang tadi diketuk. Tak lama, Andra muncul mengintip dari celah yang dibukanya sedikit. Dilihat dari gelagatnya, kayaknya dia masih ada rasa sungkan gara-gara dulu pernah bikin masalah sama gue.

"Mas, ada tamu," kata Andra yang hanya memasukkan sedikit badannya condong ke dalam ruangan. Dia keluar dan tutup pintu lagi setelah gue kasih tanda acungan jempol tanpa bertanya siapa tamu yang dimaksudnya.

Oh ya, ini hari ketiga gue memutuskan fokus di bakery yang dulunya diurus Mawar. Sejak mengajukan surat pengunduran diri dan melewati sebulan penuh untuk hand over semua pekerjaan, gue juga kepikiran buat nerusin usaha ini. Diem-diem ngasih modal buat usaha ini adalah satu dari sedikit hal yang gak gue sesali di masa lalu. Mawar jago banget ngelola usaha ini sampai punya banyak pelanggan tetap. Dia malah pernah cerita pengen buka cabang suatu hari nanti. Semoga keinginannya itu bisa terwujud lewat gue lagi. Meskipun sampai sekarang kayaknya Mawar masih mikir kalau semua ini dari Saka.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang