43. Cermin

474 42 24
                                    

Selepas memandikan Rendra, Awan malah mematung di depan lemari pakaiannya. Hampir seluruh tubuhnya tergambarkan di cermin berukuran besar yang menyatu dengan pintu lemari. Di bagian bawah, terpantulkan bayangan Rendra yang tengah mengenakan pakaiannya secara mandiri. Setelah baju dan celananya terpasang sempurna, Rendra mendongak menghadap wajah papanya yang sejak tadi diam.

"Kenapa, Pa?"

Tak menjawab, Awan lebih memilih untuk mengangkat tubuh mungil itu ke gendongannya. Diarahkannya tubuh mereka menghadap cermin. Dari posisi ini keduanya bisa melihat pantulan wajah masing-masing di cermin. Hidung, bibir, mata, alis, semua yang menempel di wajah Rendra memiliki bentuk yang nyaris sama persis dengan milik Awan.

"Rendra sadar gak kalau kamu mirip sama Papa?"

Rendra balas menatapnya bingung, Ia belum paham bagaimana caranya menilai kemiripan wajah mereka.

"Mamanya Ken pernah bilang gitu, Pa."

"Oh ya?"

"Iya. Katanya Rendra mirip banget sama Papa. Tante Nay, Opa, sama Om Saka juga pernah bilang."

Awan menghela nafas. Sudah terlalu banyak orang yang menyadarinya.

Ada dua perasaan sekaligus yang memenuhi dadanya pagi ini. Satu sisi Ia akan sangat bahagia sekali kalau memang faktanya Rendra adalah anaknya. Sayangnya fakta itu juga membawa kenyataan lain yang ingin ditolaknya.

"Maafin Papa ya, Ren."

Rendra mengernyitkan keningnya mendengar ucapan Awan tadi. Papanya itu terlalu sering minta maaf akhir-akhir ini. Rendra tentu tidak mengerti apa maksudnya. 

Anak itu mengalungkan tangannya pada leher pria yang menggendongnya. Setelah itu, Rendra merebahkan pipinya di pundak yang sejak kecil selalu terasa nyaman untuknya. 

"Papa tau nggak?"

"Apa?"

"Papa itu orang yang paaaling Rendra sayang sedunia."

Awan mengeratkan pelukannya. Wajahnya mendongak, menjaga air matanya agar tetep di tempat. Pagi ini, semuanya menjadi jelas kenapa sejak dulu Ia selalu memiliki perasaan khusus untuk Rendra. 

"Mas Awan, Rendra, sarapan dulu, yuk. Aku sama bibi udah siapin nasi goreng di bawah," ujar Mawar yang sudah berdiri di bingkai pintu.

Setelah menurunkan jagoan kecilnya dari gendongan, Awan berjalan ke arah pintu dimana istrinya berdiri. Semakin dekat, Mawar tambah jelas melihat raut wajah Awan.

"Kamu kenapa, Mas?" tanya Mawar saat menyadari ada segaris basah yang menuruni pipi suaminya.

Awan menggeleng sambil tersenyum tipis, "tadi Rendra bilang, aku orang yang paling dia sayang. Makanya aku sampai terharu gini."

Mawar balas tersenyum, "wajar, Mas. Sejak Rendra kecil kalian udah deket banget. Kamu sering temenin dia main, kamu sering kasih dia hadiah, kamu ajari dia banyak hal. Gak heran kalau Rendra sayang banget sama kamu. Meskipun kamu bukan siapa-siapanya."

Deg!

Langkah Awan tercekat mendengar ucapan terakhir istrinya. Awan tidak bisa membayangkan akan seperti apa respon Mawar jika tahu, kemungkinan Rendra adalah anak kandungnya. Khawatirnya Mawar akan hancur. Dan Awan tidak ingin itu terjadi. Jadi biarlah seperti ini.

Biarkan masa lalunya itu tetap menjadi rahasia kelam yang harus selalu berusaha dikuburnya.

~

Berjam-jam memacu mobilnya di tengah padatnya jalanan tidak pernah menjadi hal yang memberatkan bagi Awan jika itu adalah permintaan Rendra. Tapi malam ini berbeda. Rendra sekali lagi merengek minta diantar ke rumah Abah untuk bisa bertemu dengan Melati. Masalahnya adalah Mawar sedang tidak bisa ikut karena ada pesanan besar yang membuat istrinya itu sangat sibuk sejak pagi. 

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang