MAWAR AZHARA
Sudah masuk bulan ketiga sejak pernikahanku dan Awan berlangsung. Tidak ada yang berubah sampai hari ini. Awan tetap bersikap seperti awal pernikahan kami dulu. Awalnya aku pikir sepulang dari rumah orang tuanya waktu itu, Awan akan lebih menerimaku, tapi ternyata tidak. Teh yang kubuatkan masih belum pernah dia minum. Kalau makan sudah sebulanan ini dia mau sarapan. Mungkin karena sekarang yang memasak adalah Bi Dul, ART yang sudah sebulanan terakhir bekerja di rumah. Ya, Awan sepertinya lebih sudi memakan masakan Bi Dul daripada masakanku dan aku sama sekali tidak mempermasalahkan.
Ya, bisa dibilang semuanya masih sama. Hanya saja sekarang aku sudah lebih terbiasa dengan semua tingkah Awan.
Hari ini juga sudah genap satu bulan aku mengurus Azhara Bakery, usaha baruku bersama Kanaya. Aku juga tidak mengerti kenapa waktu itu Kanaya memaksa untuk menggunakan namaku untuk usaha kami, padahal aku sudah mengusulkan banyak sekali nama lain, termasuk namanya sendiri atau nama si kecil Pelangi. Aku juga merasa sungkan awalnya dengan penggunaan nama ini, apalagi semua modalnya dari Saka, suami Kanaya. Tapi waktu itu Kanaya beralasan, katanya karena aku yang akan berada di tempat setiap saat, sementara dia masih sibuk dengan skripsinya.
Sejak menjalankan bisnis ini, aku merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku bisa menjalankan hobiku tapi kali ini mendapatkan penghasilan. Dulu aku sudah pernah mencoba bidang kuliner seperti ini untuk mendapat penghasilan tambahan, tapi cepat sekali gulung tikarnya. Waktu itu mungkin karena aku berjualan di rumah, yang mana lokasi rumahku sendiri tidak strategis. Beda dengan hari ini. Kami ada di pinggir jalan raya yang selalu ramai bahkan sampai malam. Jalan ini juga mengarah lurus ke luar kota, jadi orang yang akan bepergian jauh tidak jarang berhenti untuk membeli oleh-oleh.
Karena sudah dibantu empat orang karyawan, aku juga bisa leluasa untuk mengantar jemput Rendra sekolah. Pulang sekolah biasanya Rendra akan kubawa ke bakery. Ada ruangan yang cukup nyaman untuk istirahat sebentar disana. Malamnya sekitar jam delapan, barulah kami pulang.
Rendra sekarang sepertinya juga mulai terbiasa dengan sikap Awan. Dia kuat sekali. Diperlakukan kasar seperti itu tapi Rendra bisa cepat pulih sendiri. Memang sih, Rendra masih suka bertanya kapan Awan tidak sibuk, tapi sekarang dia jauh lebih mengerti. Saat melihat Awan masuk dengan raut muka yang tak enak dilihat, Rendra biasanya akan lebih memilih diam dan menjauh.
"Mbak, ada orang mau order 250 box. Bisa?" tanya Disti begitu masuk ke ruangan saat aku tengah mengecek PR yang barusan Rendra selesaikan.
"250 box? Gak salah, Dis?" tanyaku tak percaya.
"Beneran, Mbak."
Sebulanan ini memang usaha kami sedang ramai-ramainya. Kayaknya berkat promosi yang aku dan Kanaya gencarkan selama bulan pertama ini. Tapi seramai-ramainya bakery kami, belum ada yang order sampai ratusan begini.
"Boxnya minta diisi menu apa?"
"Katanya sebisanya kita aja, Mbak. Dia maunya 250 box isi tigas jenis roti-rotian. Katanya buat besok."
"Ya gak bisa dong kalau besok. Bisa-bisa kalian lembur sampai malam."
"Nah itu, Mbak. Dia sudah aku kasih tau tapi malah tambah mohon-mohon, katanya sanggup bayar lebih kalau kita mau."
Siapa sih sebenarnya? Bukan masalah uangnya, tapi toko kami ini kan tergolong baru, mana bisa memenuhi orderan sebanyak itu dalam satu malam. Mau dilemburkan sampai jam berapa ini anak-anak?
"Mbak temui aja ya. Aku udah gak sanggup mau nolak. Katanya buat acara sama anak yatim soalnya," kata Disti memelas.
Aku mengikuti Disti yang berjalan lebih dulu. Saat menuju desk kasir, tampak seorang pria tinggi yang tidak terlalu asing tengah berdiri memperhatikan beberapa menu andalan yang kami pajang di display case.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Rahasia
RomanceDari dulu aku mengagumi Awan, tapi tidak setelah kami menikah. Awan tidak sesempurna yang selama 12 tahun kukenal dari jauh. Awan sekarang tidak lebih dari seseorang yang dingin, angkuh, acuh, dan tidak berperasaan. Sepertinya perpisahan adalah yang...