36. Mau Lari?

314 35 18
                                    

Awan, Kian, dan Saka sedang dalam perjalanan ke lokasi yang diduga menjadi persembunyian Andika. Lokasinya masih di dalam kota, karena itu lah Awan tidak begitu yakin. Mereka sebelumnya sudah sempat mencari informasi ke luar kota tapi tanpa hasil. Siapa sangka malah kemarin ada orang yang akhirnya mengaku pernah melihat Andika masuk ke sebuah rumah yang ada di pinggiran kota. 

Di pemukiman itu lah mereka bertiga sekarang berada. Setelah Saka memarkirkan mobilnya di sebuah lapangan tak terurus, mereka langsung bergegas mencari letak rumah yang orang kemarin maksud. Lokasinya agak masuk melewati gang kecil yang hanya bisa diakses dengan jalan kaki. 

Sampai di depan rumah yang dituju, Awan tak membuang waktu lagi untuk mengetuk pintu. Ia membuka kasar pintu itu. Wajah kembarannya yang meninggal karena ulah Andika sudah membawa Awan ke tingkat tertinggi amarahnya. 

Benar saja, Andika ada di ruangan pertama yang mereka masuki, sedang menonton acara reality show di televisi. Ia begitu kagetnya sampai hampir terjatuh saat akan bangun.

"Mau kemana? Lari?"

Andika yang panik segera meraih benda apapun yang bisa dijadikannya senjata. Sayang di dekatnya hanya ada raket nyamuk usang. Andika memang kurang persiapan. Ia terlalu percaya diri bahwa persembunyiannya tidak akan pernah terbongkar.

"Aku wes gak onok urusan karo koen, Wan. Kamu mau ambil Rendra? Silahkan!"

Awan membalasnya dengan seringaian, "masalah kita bukan cuma Rendra, Dika. Lo inget pernah nabrak orang beberapa tahun lalu?"

Andika terdiam sebentar. Ia memang sempat tidak sengaja menabrak seorang gadis beberapa tahun yang lalu. Saat itu jalanan sedang macet dan Ia sedang dikejar waktu untuk menyerahkan barang haramnya ke seorang pelanggan tetap.

"ITU ADEK GUE, ANJING!"

Andika masih belum siap saat Awan dengan cepat menendangnya di area paha. Ia terjatuh beberapa langkah ke belakang. Dengan segera juga Awan menghampiri dan menarik lengannya agar kembali berdiri. Andika tidak lantas kehabisan akal, Ia balas melakukan hal yang sama begitu sudah tegak berdiri hingga Awan membentur kursi kayu di belakangnya. 

Melihat Andika melawan, Kian sudah akan maju untuk membantu tapi Saka menahannya, Awan juga mengisyaratkan dengan tangannya agar kedua temannya tidak perlu ikut campur.

"Biar gue urus sendiri pengecut satu ini," kata Awan dengan penuh penekanan.

"Alah, asu!" sentak Andika sebelum akhirnya dengan cepat melayangkan tinjunya. 

Karena belum siap, tinju itu tepat mengenai sudut bibir Awan. Tapi tak sedikitpun Ia meringis sakit, Awan malah menyeringai sambil kembali menegakkan tubuhnya. Sorotan matanya yang begitu tajam menunjukkan kemarahannya. Di depannya ini adalah orang yang sudah merenggut nyawa adiknya, fakta itu sudah cukup untuk mendidihkan amarah yang penuh dendam.

Dengan tangannya yang mengepal begitu kuat, Awan meninju lawannya tepat mengenai pelipis. Itu hanya sebagai pembuka sebelum pukulan lain yang Awan layangkan secara membabi buta kemudian. Andika malah sudah tak memiliki celah untuk membalas, menangkis pukulan saja Ia tidak sanggup. 

Melihat lawannya sudah tak berdaya namun masih sadar, Awan mencengkram bagian depan kaos Andika. Dipaksanya pria itu untuk bangun. Karena tak ada respon dari Andika, Awan terpaksa harus sedikit menyentak dan menyeretnya. Diarahkannya Andika agar duduk di kursi.

Awan berdiri tepat di depan kursi itu. Andika tampak sama sekali tak berdaya sekarang. Tapi itu sama sekali tak membuat Awan puas. Bayangan jasad adiknya yang terbujur kaku waktu itu selalu membakar kemarahannya pada Andika. Terlalu baik jika Awan berhenti sampai disini. Andika kurang tersiksa. Bayangan wajah adiknya itulah yang akhirnya mendorong Awan kembali meninjunya di muka.

Menikahi RahasiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang