AWAN MAHENDRA
Sejak kejadian mobil butut itu, gue langsung masuk dan menghampiri Mawar yang kebetulan sedang menjelaskan beberapa kue di display case kepada dua orang pelanggan perempuan. Gue segera berdiri di belakang pelanggan itu seakan ikut mendengarkan yang Mawar jelaskan.
"Jadi ambil yang ini aja, Mbak," kata salah seorang di antara mereka.
Setelah itu, seseorang menyusul di belakang Mawar, Reyna kalau gak salah namanya. Dia dengan hati-hati membantu Mawar memasukkan kue tart bernuansa merah muda ke dalam sebuah kotak berukuran cukup besar. Reyna lalu bantu membawakan kotak yang tampak berat itu ke meja kasir.
"Aku bosen," kata gue karena berfirikir Mawar sudah selesai melayani dua orang tadi.
Dua perempuan itu menoleh ke belakang dan memasang wajah kaget saat sadar dengan kehadiran gue.
"Bosen, Mas? Ikut kita party aja nanti malem. Aku mau ngerayain ulang tahun. Itu kuenya," tawar perempuan yang tadi memilih kue.
Gimana ya maksudnya? Gue kan gak ngomong sama mereka.
Sayang bukannya bantu menyelamatkan gue dari kondisi ajaib ini, Mawar malah menyingkir dan berjalan begitu saja ke arah mesin kasir.
"Join aja, Mas! Mana nomernya? Nanti aku shareloc," kata perempuan lainnya. "Oh iya, aku Putri."
"Apa sih?" kata gue, mengabaikan uluran tangan yang tiba-tiba itu. Gue segera menyusul Mawar ke belakang mesin kasir dan berdiri di belakangnya. Meminta perlindungan dari dua makhluk aneh yang masih berdiri menatap ke arah gue.
"Maaf, Mbak. Ini suami saya."
Akhirnya gue diakui sebagai suami.
"Oalah, pantes. Tadi aku pikir tukang parkir."
Miris sekali.
"Tapi beneran loh kalo mau dateng nanti malem gak papa. Mbaknya juga ikut aja."
"Nggak, Mbak. Nanti malem gue udah janji mau mijitin istri," tolak gue.
Setelah membayar kue pesanannya, dua perempuan itu akhirnya pergi. Baru lah gue merasa terselamatkan.
"Tadi beneran?" tanya Mawar tiba-tiba.
"Yang mana?"
"Kamu mau mijitin aku?"
Gue sebenernya gak pernah bisa mijit. Dipijit juga gak pernah kayaknya. Tadi asal ceplos aja biar itu makhluk berdua diem. Tapi...
"Boleh kalau kamu mau."
"Bener? Soalnya kebetulan badan aku pegel semua, Mas."
"Kan! Aku bilang apa. Kamu itu butuh istirahat, Maw. Meskipun kamu happy sama pekerjaan kamu, tapi badan gak bisa bohong."
Mawar malah tak bicara lagi. Dia jadi menunduk, seperti ada yang dia pikirkan. Gue tahu Mawar masih menyimpan sesuatu yang membebani pikirannya, tentang apa itu gue gak ngerti. Yang jelas gue jadi khawatir.
Karena sepi, gue memberanikan diri untuk maju dan memeluknya dari belakang, menumpukan dagu di bahunya.
"Kenapa?" tanya gue lirih, nyaris berbisik. "Hmm? Capek, ya?"
"Ups!" kaget seseorang dari samping. Gue reflek melepas pelukan tadi dan ambil posisi seperti mengelap meja dengan tangan kosong. Mawar masih di tempatnya berdiri, melanjutkan kegiatannya tadi. Entah siapa tadi yang muncul, karena dia lari lagi ke arah datangnya.
"Nempel terus kayak koyo," sindir seseorang yang tak kelihatan wujudnya. Tapi Mawar tertawa mendengarnya, gue jadi lebih lega.
"Suaranya Disti ya?" tebak gue. Gue belum terlalu hafal wajah dan suara orang-orang disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Rahasia
RomanceDari dulu aku mengagumi Awan, tapi tidak setelah kami menikah. Awan tidak sesempurna yang selama 12 tahun kukenal dari jauh. Awan sekarang tidak lebih dari seseorang yang dingin, angkuh, acuh, dan tidak berperasaan. Sepertinya perpisahan adalah yang...