"Ain, ayolah maafin gue. Gue beliin yang baru ayo, tapi buka dulu pintunya" mohon seorang pria yang masih tetap berdiri di depan kamar sang adik sejak sejam yang lalu.
Tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar. Nathan tampak putus asa, ia memang meminjam earphone adiknya karena tadi malam Nathan menonton bola dan earphone miliknya tertinggal di Indonesia kemarin.
"Come on Ain, i will do anything"
Crek..
Suara pintu terbuka membuat Nathan yang sudah putus asa akhirnya tersenyum sumringah sambil memeluk adiknya erat.
"Go away, sesak gue. Ayo lu mau do anything for me right?" senyum licik Arine melihat ke arah Kakak lelakinya itu.
Nathan hanya mengangguk pasrah karena ia tau hari ini dompetnya akan terkuras, namun mau bagaimana lagi ia tidak mungkin membiarkan adiknya itu marah padanya.
- - - -
"Gue senang bangett hari ini, terima kasih Aan" ucap Arine sambil memeluk pria di sampingnya ini.Bagaimana Arine tidak senang, hari ini dia melakukan perawatan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Nathan hanya menghela nafas kesal, bukan karena dia harus mengeluarkan uang banyak tetapi gadis ini menghabiskan waktu setengah hari dan memaksa Nathan untuk menunggunya hingga selesai.
"Lain kali gak bakal mau lagi gue minjam barang lu," ucap kesal Nathan
Arine langsung melepaskan pelukannya dan memelototi Kakak Lelakinya itu, "I will do anything, yaa ini lah yang harus dilakuin"
"Tapi, thankyou Aan. Gue happy banget, biasanya gue perawatan sendiri. Dan sepi aja rasanya," ucap Arine melihat ke arah luar
Nathan yang mendengar ucapan adiknya itu merasa tertampar, bagaimana bisa dia meninggalkan adiknya itu. Selama ini dia sangat sibuk dengan kegiatan bolanya, orang tuanya pun sama sibuk dengan dunia kerja yang dilakoni mereka. Ya benar, Arine selalu sendirian. Rasa bersalah mulai dirasakan oleh Nathan, karena bagaimana bisa dia melewati perkembangan adiknya. Adiknya kini sudah menjadi dewasa, bahkan iya lupa kapan terakhir kalinya mereka menghabiskan waktu bersama seperti ini.
"Ayo kita mau kemana lagi? Seminggu ini kita habisin waktu bareng, Mami Papi kan juga libur," ucap Nathan sambil mengelus kepala adiknya itu.
Arine menoleh ke arah Kakak laki-lakinya itu, "Ain mau ikut kakak ke Indonesia aja,"
Nathan sedikit terkejut, namun kemudian iya menetralkan wajahnya.
"Jangan, Ain. Kamu nanti sendirian, kalau abang latihan kamu mau kemana?" ucap Nathan lembut
Arine tau jika Nathan sudah menggunakan kosa kata 'kamu' artinya kini ia sudah serius dengan pembicaraan ini.
"Aku gak bakal ngapa-ngapain Aan, i just miss my hometown," ucap Arine berusaha membujuk Nathan.
Nathan menghela nafasnya, kemudian iya menoleh ke adik kecilnya itu, "Oke, but got a permission first from mom and dad"
Arine tersenyum namun dibenaknya sedikit ragu, dirinya belum pernah berpergian jauh tanpa Mami dan Papinya. Bahkan untuk berkuliah di luar Belanda saja dia tidak diijinkan.
"Okee, tapi Aan boleh bantu juga gak buat bujuk mami papi," ucap Arine dengan mata memohonnya.
Nathan menganggukkan kepalanya yakin, karena di lain sisi dia juga merasa kasian dengan adiknya itu. Setidaknya jika Arine di Indonesia dia bisa mengikuti dirinya kemana-mana, dan jika bertanding di luar Indonesia pun Arine tetap bisa ikut.
"Dank Je, Aan" ucap Arine sambil memeluk erat kembali Nathan.
Nathan membalas pelukan adiknya itu tak kala erat. Sambil tersenyum namun ia juga ragu, namun ia buang jauh-jauh pikiran jelek itu.
- - -
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine
Teen FictionClayrine Noel Tjoe-A-On, gadis Belanda berketurunan darah Indonesia yang diwarisinya dari sang kakek yang merupakan warga Semarang. Gadis berkelahiran 27 November 2003 ini lahir di Rotterdam dan tinggal di sana bersama Orang tuanya dan Kakak laki-la...