Pagi ini tidak berjalan sesuai rencana, saat dirinya membuka mata ruangan serba putih sudah menghiasi pandangannya. Ia berusaha menetralkan pandangannya dengan cahaya di ruangan ini dan hal yang ia dapati saat pandangannya sudah netral adalah kedua orang tuanya yang sedang berbicara dengan seseorang dengan pakaian serba putih.
"Mami,"
Suara gadis ini membuat ketiga manusia yang sedang berbicara sontak langsung menoleh dan menghampirinya. Pria yang berpakaian serba putih langsung berjalan ke arahnya dan melakukan pengecekan pada mata, lidah, dan detak jantungnya.
"Semua sudah aman, hanya saja kita perlu melihat apakah kondisi tubuhnya stabil dan tidak muntah lagi saja," ucap pria itu saat selesai mengecek tubuh Arine.
Arine masih sangat lemas untuk bertanya apa yang terjadi sebenarnya. Tapi yang ia rasakan perutnya seperti tertusuk-tusuk dan badannya seperti tidak ada tenaga.
"Istirahat yang cukup, sweetheart," ucap Romeo sambil mengelus kepala anak gadisnya ini yang masih sedikit panas.
"What happen with me, dad?" tanya Arine dengan suaranya yang masih lemas.
Malam setelah keluar bersama Rafael memang ia sudah merasakan gejolak aneh di perutnya, berulang kali ia bolak balik kamar mandi dan mengeluarkan isi perutnya. Arine ingat terakhir kali dirinya masih bangun dan berjalan ke arah toilet kamarnya namun memang ia sudah merasakan sesak di dada, pusing, dan mual secara bersamaan. Dan setelah itu ia sudah tidak mengingat apa-apa lagi dan saat ia bangun sudah berada di ruangan yang sangat ia benci ini.
"Gerd kamu kembali kambuh sayang, banyakin istirahat dan kali ini papi mohon dengarin larangan dokter ya," ucap Romeo berusaha selembut mungkin.
Sebenarnya Arine mengerti maksud dari ayahnya ini, yaitu mengurangi dosis cafeine aka kopi dulu. Melihat kekhawatiran di wajah ayahnya dan ibunya tentu saja Arine tidak tega untuk melawan kali ini. Arine hanya membalas anggukan karena perutnya masih terasa sakit jika dirinya mengeluarkan suara. Setelah itu ayahnya pamit pergi untuk berangkat ke kantor karena memang suasana kantor sibuk akhir-akhir ini.
"Sayang, minum obat ini dulu ya. Setelah itu makan bubur buatan mami beberapa suap ya," bujuk Melinda kepada Arine.
Melinda tau akan sulit memaksa anak gadisnya ini untuk mengonsumsi obat apalagi kondisi perutnya masih tidak enak, tapi ia tak ingin sakit gadis ini semakin parah lagi.
"Perut Ain sakit, mi," desis Arine pelan karena memang kondisi tubuhnya masih sangat lemah.
"Mami mohon, sedikit aja ya sayang," bujuk Melinda lagi yang akhirnya membuat Arine memilih untuk mengalah.
Setelah memberikan obat dan menyuapi anak gadisnya bubur buatan miliknya, Melinda kembali menurunkan tempat tidur Arine dan membiarkan gadis ini kembali tertidur.
Ponsel Melinda berbunyi dan menampilkan nama Nathan di sana, karena tidak ingin membangunkan anak gadisnya yang baru saja terlelap akhirnya Melinda memilih keluar dari ruangan untuk menenangkan anak laki-lakinya yang sudah panik dari tadi.
"Mami, gimana keadaan Ain?"
"Dia sedang tidur, Aan. Baru saja mami berikan obat dan beberapa suapan bubur dan akhirnya sekarang dia kembali terlelap,"
"Aan pesan tiket sekarang ya mami, Aan benar-benar khawatir,"
"Gak perlu, Aan. Kamu fokus sama pertandingan kamu aja ya, Ain di sini ada mami dan papi yang jagain,"
Terdengar helaan nafas dalam di sebrang sana, Nathan benar-benar khawatir saat mendapatkan kabar bahwa adik kecilnya harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di dalam toilet kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He is Mine
Teen FictionClayrine Noel Tjoe-A-On, gadis Belanda berketurunan darah Indonesia yang diwarisinya dari sang kakek yang merupakan warga Semarang. Gadis berkelahiran 27 November 2003 ini lahir di Rotterdam dan tinggal di sana bersama Orang tuanya dan Kakak laki-la...