24. Back to Reality 🤍

1.3K 119 6
                                    

Pagi sudah menyambut 4 manusia Belanda rempong yang saat ini sedang ribut di kamar milik Arine, Ibu Arine yang melihat kegaduhan ini tak bisa melakukan apapun karena suaranya tidak mungkin didengar oleh keempatnya.

"Gue bilang lepasin, Raf. Gue hitung sampai 3 kalau lo masih pegangi hoodie gue, gue jambak," ucap Ivar sambil merebut kembali hoodie miliknya yang ditarik oleh Rafael.

"Lo semalam bolehin gue pinjam, sekarang gue yang suruh lo lepasin," ucap Rafael tak ingin mengalah.

"Ayo ayo, gue pengen lihat nih upin ipin siapa yang bakal menang," ucap Nathan sambil menyemangati Ivar dan Rafael yang saat ini sedang berebut hoodie.

"AAN, EARPHONE AIN MANA," teriak Arine sambil mengobrak-anbrik tas miliknya untuk mencari earphone miliknya.

Nathan yang merasa terpanggil pun menoleh, "Mana Aan tau, kan kamu yang pake sendiri tadi malam," uca Nathan tak ingin disalahkan.

Arine memicingkan matanya, "Semalam Ain telepon gak pake earphone, kan Aan yang minjam buat ke lapangan kemarin! BALIKIN GAK!!" ucap Arine sambil berteriak di akhir kalimatnya.

Nathan tampak terdiam sambil mengingat apakah benar kejadian itu benar terjadi, "Mampus gue," ucap Nathan saat mengingat kembali di mana terakhir kali ia memakai earphone milik adiknya.

"DIMANAA AAN!!!" teriak Arine semakin kencang. Pasalnya ini sudah kesekian kalinya Nathan menghilangkan earphone miliknya.

"Hehe, nanti Aan beliin yang baru ya sayangnya Aan. Kemarin kayaknya ketinggalan di Bus Timnas," ucap Nathan sambil bergerak menjauhi Arine yang tampak sangat murka sekarang.

Arine membulatkan mulutnya tak percaya earphonenya kembali dihilangkan oleh Nathan, bukan masalah harganya tapi Arine baru saja membelinya kemarin karena miliknya sebelumnya juga dihilangkan oleh Nathan.

"LO GILAA? GUE BUKAN MASALAH LO GANTI ATAU NGGAK, TAPI ITU BARU AJA GUE BELI GAK SAMPE SEMINGGU," teriak Arine tak terima dengan apa yang dilakukan oleh Nathan.

Rafael dan Ivar yang dari tadi masih asik berebut hoddie terpaksa berhenti karena teriakan Arine yang cukup mengejutkan mereka. Rafael langsung berlari menghampiri Arine yang saat ini berdiri tegak sambil menahan tangisnya, Rafael tau pasti gadisnya benar-benar emosi.

Nathan langsung menghampiri adiknya itu, bagaimanapun ia bersalah.

"Maafin Aan," ucap Nathan sambil memeluk erat Arine. Arine masih dengan emosinya, tubuhnya sangat bergetar. Kelemahan Arine adalah ia selalu menangis di saat dirinya emosi. Padahal kemarahannya belum tersalurkan semua, namun air matanya sudahh tidak tahan untuk menembus pertahanannya lagi.

Arine memukul dada Nathan pelan, "Aan nyebelin banget, Ain benci sama Aan," ucap Arine di dalam pelukan Nathan.

"Maafin Aan, Ain," ucap Nathan tak ingin memancing emosi Arine lagi.

Ibu Arine yang baru saja kembali dari luar kamar langsung meletakkan beberapa belanjaannya dan langsung berjalan ke arah Arine yang tampak sedang menangis di pelukan Nathan. Pasalnya tadi waktu ia pergi meninggalkan 4 manusia ini, mereka masih asik bercanda dan berteriak dengan suara yang menggelegar.

"Ain kenapa sayang?" tanya Ibu Arine sedikit panik.

"Aan hilangin earphone Ain lagi, Mami," ucap Nathan menjelaskan kepada Ibunya.

Ibu Arine langsung menghela nafasnya, "Aan kenapa selalu begitu sama barang adiknya? Bukan masalah uangnya sekarang, tapi kenapa Aan gak pernah bisa bertanggung jawab?" tegur Ibu Arine kepada Nathan.

"Maaf Mami," ucap Nathan ikut menyesali perbuatannya.

Sebenarnya kelemahan Nathan adalah melihat adiknya menangis dan nasehat lembut dari Ibunya. Ia tak mungkin bisa melawan mau sekeras apapun hatinya. Jika yang kalian tau Nathan adalah manusia yang penuh dengan emosi, maka tidak jika ia sedang bersama keluarganya. Hatinya sangat lembut dengan keluarganya.

He is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang