54. Olahraga 💃🏼

791 76 12
                                    

Kehidupan Arine setelah hari itu benar-benar sunyi, ia memutuskan menjauh dari semua orang untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu. Arine meminta ijin kepada oma dan opanya untuk tinggal sementara di apartment milik Uncle Joy.

Tanpa bertanya apapun sebenarnya opa dan omanya pun tau gadis ini memiliki masalah, tapi karena prinsip kehidupan mereka ada membiarkan anak seusia Arine untuk belajar mengendalikan kehidupannya sendiri maka mereka tak ingin bertanya apapun sampai anak ini yang bercerita nantinya

"Gak usa sok kuat, gue tau lo gak sekuat itu,"

"Apaan lo, peramal lo?"

"Gue ada pesanin makanan, nanti diambil,"

"Banyak gak?"

"Emang adik gak tau diri lo,"

Arine tertawa mendengar nada kesal yang dilontarkan oleh Nathan. Pria ini memang mengetahui segalanya tentang dirinya, tanpa bertanya pun ia seperti tau apa yang dilalui Arine.

"Aan,"

"Apa lo?!"

"Santai dong, jadi malas gue mau ngomong sama lo,"

"Iyaa, apa?"

Mendengar suara Nathan yang sudah melembut membuat Arine menghela nafasnya dalam, sebenarnya ia belum siap bercerita tapi ia tak bisa menyembunyikan masalahnya dari Nathan. Melihat sikap Nathan yang selalu menghubunginya ia yakin sebenarnya pria ini tau tapi tak ingin menanyakannya.

"Aan gak penasaran kenapa Ain di apartment Uncle?"

"Penasaran, tapi Aan tau kamu belum siap cerita,"

"Ain putus sama Rafael," ucap Arine pelan.

Ekspresi Nathan di sebrang sana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa ada menunjukkan wajah terkejut sama sekali.

"Kamu gimana? Uda baik-baik aja atau masih butuh waktu buat menyendiri?"

"Kenapa Aan gak kaget? Aan uda tau?"

"Nebak aja, maaf Aan gak bisa di sana waktu kamu lagi keadaan gak baik kayak gini,"

Arine menelan ludahnya perlahan, ternyata pikirannya salah. Ia berpikir Nathan tau karena Rafael memberitahukannya dan meminta Nathan untuk menghibur sambil membujuk untuk berbaikan dengan Rafael. Tapi nyatanya pria itu tidak memiliki effort yang sebegitu besar untuk meyakinkan Arine untuk kembali kepadanya.

"Kemarin dua hari itu jadi hari paling berat buat Ain, rasanya dunia kayak lagi gak berpihak sama Ain. Tapi untung aja tiap malam ntah kenapa Oma dan Opa selalu kirimin Ain Ayat Alkitab seakan-akan tau kalau cucunya ini lagi hilang harapan hidup,"

"Ain, hidup kamu sebelum ada Rafael uda berjalan baik-baik aja. Jadi tanpa Rafael kamu harus settle kembali ke kehidupan awal waktu sebelum ada dia, hidup kamu masih ada Opa, Oma, Mami, Papi, dan ada gue di sini,"

"Iya, tapi saat ini lo gak ada di sini. Gue mau bertahan sama siapa, Aan? Gu-ee guee hancurr," ucapan Arine diakhiri dengan tangisan yang selalu ia tahan dari awal Nathan meneleponnya.

Jujur hati Nathan sangat sakit melihat adik perempuannya yang ia sayangi dari kecil harus menangis sendiri tanpa ada yang memeluknya di sana.

Nathan diam dan membiarkan Arine nangis sepuasnya di hadapannya seperti ini dari pada gadis ini menangis sendirian nantinya. Melihay Arine yang sudah lebih tenang dan berusaha menghapus air matanya, Nathan memperhatikan Arine yang sibuk dengan tissue di tangannya.

"Di depan kamar uda ada makanan sama beberapa es krim dan susu pisang buat kamu,"

Arine menganggukkan kepalanya mengerti, jujur saja menangis seperti ini membuatnya sangat tidak enak hati. Tidak seharusnya Nathan harus melihat dirinya yang hancur seperti ini di saat dirinya jauh.

He is MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang