Chapter 75

182 20 7
                                    

Kilauan emas menerobos tirai tipis, menelusup ke celah-celah yang tidak tertutup kain. Hangatnya menyentuh pipi Carel, memaksa kelopak matanya saling mengerjap pelan. Cahayanya mulai terang, menembus pelupuk mata Carel, memaksanya untuk berbalik memunggungi. Tapi cahaya terang, suara ketokan pintu—yang nyatanya baru Carel sadari, juga embusan angin yang berhasil menembus tirai jendela, membuatnya beranjak bangun.

Carel mengusap sebelah matanya, sambil sesekali masih menguap. Masih dengan selimut tebal menggulung tubuhnya, ia beranjak dari ranjang. Kakinya seperti belum ingin meninggalkan hangatnya selimut yang menempel, tapi ketukan pintu itu tak juga mau berhenti.

"Apa? Masih pagi astaga. Gangguin gue tidur aja."

"Morning."

Carel tadinya hanya ingin mengomel lalu kembali ke alam mimpi yang indah mempesona. Tapi, suara bernada lembut yang baru saja masuk ke indera pendengarnya, memaksa kelopak mata Carel terbuka sepenuhnya. Sekarang, ia bisa dengan jelas tahu siapa orang dibalik suaranya yang tidak asing ini.

Carel melongo. "What the fuck? Ngapain lo di sini?"

Renka tersenyum. Carel melangkah mundur ketika dirinya berada di ambang pintu. Jaraknya dengan pemuda—yang sudah seperti kepompong itu hanya satu langkah. Sebelah kiri bahunya bersender, masih dengan senyum yang merekah. Tampan dan manis adalah perpaduan yang ada pada wajah Renka sekarang.

"Hai. Lo, nggak kangen, gue?"

Carel menguap, sudut matanya mengeluarkan bulir-bulir kecil. Kasur empuk kembali menjadi tempatnya duduk sekarang, dengan selimut masih melekat erat di tubuhnya yang nampak mungil. Tak ada niatan untuk mempedulikan Renka atau menjawab pertanyaannya.

Wajah Carel ketika menguap sangat imut, apalagi selimut tebal yang menutupi semua area tubuhnya, hanya menunjukkan bagian wajahnya saja. Renka masuk, menutup pintu dengan perlahan, sebelum mendekat dan duduk di lantai, bersender pada kaki ranjang, berdekatan dengan Carel duduk saat ini.

Sebelah kaki Renka terangkat, menjadi tumpuan lengannya. Diam-diam, ekor matanya melirik, beruntung Carel tidak sadar, karena cowok mungil itu nampak sesekali memejamkan mata.

"Lo pengen tahu sesuatu, nggak?"

Carel kembali membuka mata, kali ini melepas selimutnya, membuangnya asal walau embusan angin menembus kulit lengannya. Sebab, ia hanya memakai kaos hitam polos lengan pendek. Tapi ia pakai celana panjang training abu-abu, nampak keren dengan proporsi tubuh Carel sekarang yang cukup baik. Ini berkat dirinya yang dari beberapa minggu lalu mulai olahraga di gym.

"Gue nggak tahu, dan nggak mau tahu. Mending, lo keluar. Stop lakuin ini lagi. Lo, cukul ganggu banget."

Renka berdiri dengan cepat dan menangkap pergelangan tangan Carel, ketika cowok itu hendak meraih ponsel di atas nakas. Telapak tangan Renka seakan tak ingin membiarkan Carel pergi, cukup erat cekalannya.

"Sorry."

Carel mengangkat alis, sambil mencoba menarik tangannya, tapi entah kenapa Renka ini tak membiarkannya. "Buat?"

"Semuanya."

"Oke."

"Oke, apa?"

Carel mengangkat bahu. "Lo maunya gue apa, tadi? Maafin, lo, kan? Berarti ya udah. Clear, kan."

Renka menarik cukup cepat tangan Carel, ketika cowok itu akan kembali menariknya untuk menjauh. Sekarang, tubuh mungil Carel—tapi tidak tahu dalamnya bagaimana, menempel di dada bidang Renka. Tangannya berusaha lepas dari cekalan Renka—yang masih saja tak mau lepas, begitu juga dengan sebelah tangan yang memegang bahu Carel. Kini, mata mereka saling beradu.

"Lo, nggak bener-bener maafin gue."

Carel tersenyum miring. "That's right."

"Gue nggak sejahat itu. Gue juga nggak bermaksud buat lo marah. Kenapa lo masih nggak mau maafin, gue?"

Carel menarik napas pelan. "Lepasin tangan gue. Dan lo bakal dapet maaf dari gue."

Renka menurut, langsung melepas tangan Carel. Dengan begitu, tangan Carel bisa bergerak, menyentuh sebelah pipi Renka dengan perlahan. Wajahnya tenang, tanpa senyum dan emosi, begitu juga ketika tangannya secara perlahan merayap turun ke leher Renka, mencengkeramnya dengan halus.

"Lo, mau gue maafin, kan?"

Dari seringai kecil di bibir Carel, Renka tidak bisa memberikan jawaban. Apalagi, ini antara mati dan hidup. Bisa saja, tangan Carel yang sekarang masih mencengkeram lembut—sesekali juga mengusapnya, akan mencekiknya. Dan, Renka akan mati dengan begitu saja, tanpa memiliki Carel sama sekali. Itu jelas luar biasa bodoh.

Carel tertawa sarkas. "Kenapa diem? Lo, takut gue bakal ngapa-ngapain, lo?"

Cahaya terang dari celah tirai yang terbuka menyorot mata hazel Carel. Terang dan indah, dan sayang sekali Renka hanya bisa mematung di sini. Tidak bisa lebih bebas mengamati mata indah itu. Dirinya sekarang sedang memikirkan, akankah Carel membunuh, atau benar-benar memaafkan?

Renka menelan ludah, ini tidak mudah, tapi ia harus bicara cepat atau lambat. Tapi suaranya sungguh tak ingin keluar, ia benar-benar tidak ingin mati secepat ini. Dari kejadian dulu-dulu, Renka yakin kalau Carel ini bisa berbuat apa saja.

Sekali lagi, Renka menelan ludah. Tubuh dan otaknya mencoba untuk tenang, tapi jantungnya berdegup tidak karuan. Sungguh, Renka kalau sudah dalam keadaan begini sungguh ingin lari keluar dan menghirup udara sebanyak mungkin dan berteriak sangat kencang.

"Gue ...." Suara Renka berat, benar-benar tidak ikhlas untuk mengatakannya. "Bakal ...." Renka serasa ingin kencing di celana, tapi malu juga. "Lakuin apa pun ... supaya, lo mau maafin gue."

Seringai di bibir Carel mulai sedikit lebar. Tangannya secara perlahan mulai lebih kuat mencengkeram leher Renka. Denyut di Otot-otot lehernya sampai terasa, begitu juga jantungnya. Dan ini membangunkan suara Renka agar lebih tegas.

"Tapi jangan bunuh gue!" Akhirnya, walau agak terlambat, tapi berhasil terucap juga. Renka bernapas lega, walau tidak sepenuhnya juga.

Carel tertawa, tangannya lepas begitu saja dari leher Renka. Walau masih bingung, juga agak takut sedikit, khawatir kalau tiba-tiba Carel akan mengambil senjata tajam dan— Ini terlalu berlebihan, tapi Renka sungguh memikirkan hal ini. Kedua kakinya saja sedikit gemetar, jantung pun masih tidak aman. Tapi, setidaknya ia bisa bebas dari Carel.

"Gue nggak bakal bunuh, lo. Nggak seru kalo lo mati secepat ini, Renka."

Yang disebut namanya langsung menelan ludah. Secepat ini. Kata-kata itu entah kenapa sangat lama sekali menempel di pikirannya. Renka tidak tahu apa maksud dari ucapan itu, tapi yang pasti ini mungkin saja akan berdampak buruk. Sayangnya, hanya dengan hal semacam ini, Renka tak ingin menyerah dan begitu saja menjauh dari Carel. Itu tak akan ada dalam kamus kehidupan seorang Renka.

Renka mengangguk. "Oke. Jadi, lo beneran maafin, gue, kan?"

Carel mengangkat bahu. "Maybe."

Renka diam, kakinya tidak mau dan tak ingin pergi. Matanya benar-benar menikmati bagaimana Carel melepas bajunya—menampakkan perut sixpack yang mulai terbentuk. Mata Renka bahkan tidak berpindah tempat, terus fokus pada kegiatan Carel mengganti bajunya menjadi kaos oblong hitam, masih dengan celana training abu-abu.

Carel meraih headset bluetooth dan memasangnya di telinga. "Mau ikut jogging?"

Yang ini berhasil membuat Renka menelan ludah. Ternyata, ia memang harus Berhati-hati. Orang yang sering olahraga pasti punya fisik kuat.

Renka cengengesan. "Enggak, makasih. Mau masak, aja. Nggak ada yang masak buat sarapan, hehe."

Hati-hati, Renka!















CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang