Chapter 74

263 24 5
                                    

"Aneh."

Carel yang tengah asyik bermain game spontan meletakkan konsol di tangannya. Beralih menatap Sakya di belakang yang baru saja bergumam. Cowok itu duduk di sofa, sementara dirinya duduk di lantai depan layar televisi.

"Apanya?"

Sakya melipat kedua tangan di depan dada. Punggungnya bersandar, menatap manik hazel Carel lekat. "Udah beberapa hari ini, Dhava nggak ada pulang. Dia ...." Matanya melirik Jiken yang masih asyik bermain, sebelum kembali pada Carel. "Nggak mungkin mati, 'kan?" Nada suara di akhir mengecil.

Carel beringsut mundur. Sakya langsung menahan kepala Carel yang akan bersender pada kaki sofa. Cowok itu turun, ikut duduk di samping kanan, sebelum menarik kepala Carel untuk bersandar di sebelah bahunya.

"Gue, nggak tahu. Dhava sekarang, mulai beda. Gue kayak udah nggak kenal dia lagi."

Carel mungkin bisa biasa saja. Tapi jujur, hati kecilnya mulai kecewa dengan Dhava. Abangnya itu sekarang benar-benar sudah tak peduli dengannya, apalagi setelah insiden dia menciumnya, itu yang membuat Carel mulai sedikit membenci perilaku abangnya itu.

Sakya mengusap lembut puncak kepala Carel. Jiken berhenti bermain, memilih untuk melirik bagaimana wajah Carel yang terlihat lebih imut saat dengan mata terpejam seperti sekarang ini. Cowok tinggi itu beringsut mundur, duduk bersila di hadapan Carel. Mengamati wajah putih, bibir lembab dan bulu mata yang nampak jelas saat mata itu terpejam.

"Gimana kalo Dhava diam-diam punya rencana buat bawa Carel pergi?"

Jiken mengepal kuat sebelah tangan, menempelkannya ke mulut. Wajahnya sukses mengeras, pun tatapan mata yang menajam. Sakya sebenarnya agak ngeri, tapi dia pun tak kalah sama dengan Jiken jika soal ekspresi wajah sekarang. Bahkan, cowok itu mulai mengeratkan lengannya yang memeluk Carel.

"Kita harus lindungin Carel. Jangan biarin si bangsat itu bawa Carel kita."

Jiken menarik napas pelan. "Sejak kapan?"

Sakya mengangkat alis, memasang wajah sinis yang terlihat jelas. Jiken menatapnya dengan tajam, tapi malah membuat Sakya terkekeh. Sebab dia tahu apa maksud dari pertanyaan Jiken.

"Kenapa? Lo, nggak suka kita kayak gini? Lo lebih suka kita baku hantam? Ayo aja gue mah."

Jiken terkekeh sarkas. "Kurang kerjaan banget."

"Nah! Maka dari itu! Kita harus bersatu! Sebenernya, gue nggak bakal mau biarin Carel deket-deket, lo. Tapi, gue juga sadar, kalo Carel bahagia sama, lo."

Sakya tidak bohong. Dia bisa sadar bagaimana raut wajah Carel jika sudah bersama Jiken. Cowok mungil itu akan lebih banyak berekspresi jika sudah bersama Jiken. Mungkin karena usia mereka yang tidak terpaut jauh, atau mungkin karena Jiken tahu bagaimana itu Carel Buana. Dan hanya Jiken yang bisa membuat Carel bisa banyak berekspresi seperti ini. Dan Sakya akui itu.

"Jadi, kita mulai dari mana, nih? Nggak mungkin, 'kan kalo kita diem aja di sini? Lindungin Carel doang nggak cukup!"

Jiken mengangguk. "Kalo gitu, kita—"

"Gue bisa bantu kalian."

What the fuck? Jiken maupun Sakya sangat amat mengenal suara yang baru saja masuk ke gendang telinga. Jiken berbalik sempurna, sementara wajah Sakya tetap tenang. Dia menarik tubuh Carel perlahan, membiarkan cowok mungil itu bersandar di dada bidangnya.

Jiken masih ada dendam dengan orang itu. Dia bahkan belum sempat membuatnya masuk rumah sakit. Dan sekarang, dia datang dengan sendirinya. Jiken tersenyum miring, sebelum beranjak berdiri dan mendekat dengan sebelah tangan masuk saku celana.

Renka mengangkat tangan dengan wajah santai. Jiken tidak jadi memberinya bogeman, langsung berhenti dengan jarak dua langkah. Tatapannya nampak tak bersahabat, dan Renka pun sama. Tapi tujuan dia kemari bukan untuk cari masalah.

"Demi Carel." Renka mengangkat bahu, kembali menurunkan tangannya. "Gue udah mau nurunin ego gue. Masa kalian nggak, bisa?"

Jiken terkekeh sarkas. "Kita nggak butuh bantuan, lo. Mending sekarang lo—"

"Lo nggak pengen tahu apa rencana Dhava?"

Oke. Untuk yang satu ini, Jiken langsung merapatkan bibir. Sakya perlahan membawa Carel untuk menidurkannta di sofa. Jiken menarik napas panjang, sebelum akhirnya bicara dengan santai.

"Mau apa, lo? Kalo udah tahu rencana dia, kenapa nggak lo beresin sendiri?"

Renka berdecih. "Gue masih sayang nyawa."

Kening Sakya berkerut. "Maksud, lo?"

Renka tersenyum miring. "Gue nggak bakal ngasih tahu, sebelum biarin gue gabung. Biarin gue di pihak kalian nggak bakal bikin kalian rugi, oke?"

Jiken mengepal kuat kedua tangannya. Sampai kapan pun, dia tak akan mau bergabung dengan bocah ingusan macam Renka. Jiken tak akan mudah menyetujuinya, tapi sangat disayangkan Sakya tidak memiliki pemikiran yang sama dengan dirinya.

"Oke, deal!"

Jiken tercengang. Tangannya langsung mencengkeram sebelah bahu Sakya. Sementara si empu nampak santai, tatapannya terkesan begitu polos. Jiken serasa ingin membuangnya ke rawa-rawa, sumpah dia nggak bohong.

"What are you doing, bastard! Jangan gila!"

Sakya menarik napas pelan. "Percaya aja ma gue. Gitu-gitu juga, Renka juga bagian dari Sanjaya. Dan gue yakin, dia emang ada di pihak kita."

"Liam bener. Gue ada di pihak kalian. Sumpah demi apa pun."

Jiken melipat kedua tangan di depan dada. "Bukti?"

"Saya buktinya."

Sosok pria paruh baya, mengenakan kemeja putih. Pada bagian lengan digulung sampai siku, sementara dikancing paling atas terbuka. Dia, Arkan Tama Sanjaya, Ayah kandung Renka sekaligus Kakak dari Ayahnya Carel, Ardani.

Tapi nampaknya, Jiken maupun Sakya tidak mengenal pria paruh baya itu. Mereka bahkan memberikan tatapan sengit, tapi tidak berlangsung lama setelah kedatangan Ardani. Pria paruh baya itu memakai kemeja hitam dengan lengan digulung sampai siku, sama seperti Arkan yang juga pada kancing teratas terbuka. Pria itu menyandang jas hitamnya di lengan kiri.

"Beri mereka kesempatan."

Sakya diam, begitu juga dengan Jiken. Mereka belum terbiasa dengan sikap Ardani sekarang. Mereka tidak seakrab itu dengannya. Jiken spontan melirik Carel yang nampak tidak terpengaruh dengan suara-suara itu. Tidurnya nyenyak sekali.

Sakya berdehem sebentar. "Kapan Anda pulang?"

Ardani tersenyum sambil mendekat, menyempatkan diri untuk menepuk bahu Sakya dan juga Jiken. "Bagaimana dengan Carel? Dia baik-baik saja?"

"Ya, karena saya selalu ada bersamanya."

Sakya merengut. "Masa? Terus, pas dia dicul—"

Jiken langsung membekap mulut Sakya. Tangannya yang bebas mencubit pinggang cowok itu. Sementara Ardani hanya tersenyum, sebelum melirik sosok Arkan yang berdiri di samping Renka.

"Sepertinya kita juga harus perlu bicara." Ucapan Ardani diperuntukan untuk Arkan, dan mereka pun naik ke lantai atas.

Sekarang hanya ada Renka, Jiken yang masih membekap mulut Sakya. Dan terakhir Carel yang masih tidur di sofa.

Renka melipat kedua tangan di depan dada. "Btw, yang tadi itu Papa gue. Kakak kandung Om Ardani."

Sakya langsung menarik paksa tangan Jiken dari mulutnya. "Yang bener? Pantes, muka mereka hampir mirip."

Jiken berdecih. "Serius! Nggak penting banget ucapan lo itu."

Renka memutar bola mata. "Gue bakal kasih tahu rencana Dhava."

CARELTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang