Rumah Sakit Rehabilitasi Nottingham perlahan-lahan mulai menerima lebih banyak pasien. Konsep "rumah sakit rehabilitasi" pada awalnya terdengar asing, tetapi muncul akibat semakin banyaknya prajurit yang menderita cedera parah. Pada awalnya, penyakit yang mereka tangani cukup sederhana—banyak prajurit yang mengalami masalah yang bisa sembuh hanya dengan menjaga kebersihan tangan dan kaki serta memperbaiki kondisi gizi mereka. Namun, seiring situasi yang semakin memburuk, kasus-kasus yang lebih serius mulai bermunculan.
Prajurit-prajurit dengan anggota tubuh yang hilang, luka bakar di seluruh tubuh, atau trauma mental yang parah menjadi semakin umum. Yang lebih menyedihkan lagi, perawatan yang bisa diberikan oleh rumah sakit sangat terbatas. Keterbatasan teknologi medis terasa begitu nyata, dan perasaan tidak berdaya mulai menghantui semua orang.
Bahkan Isabel, yang dulunya ceria, kini semakin jarang bicara. Arlington tetap tenang, namun dia tidak bisa sepenuhnya menyembunyikan rasa cemasnya. Madeline, meskipun tampak terguncang oleh surat-surat dari Ian, tidak pernah menunjukkan kelemahannya.
Dia membunuh dan mengubur emosinya.
Namun, pada malam hari, bahkan dia tak bisa menahan diri untuk tidak larut dalam renungan. Mulai dari apakah tindakannya benar-benar membantu para pasien, hingga masa depan dan ayahnya. Pada akhirnya, pikirannya selalu kembali kepada Ian.
Merawat pasien dengan beban pikiran yang berat bukanlah tugas yang mudah. Madeline berusaha untuk menenangkan diri dan menyelesaikan tugasnya ketika seorang pasien dari sudut ruangan memanggilnya.
"Perawat... Perawat..."
Tiba-tiba, seorang pasien di sudut ruangan mulai memanggilnya. Saat Madeline menoleh, dia melihat bahwa itu adalah Pasien X, tidak, John. Mendekati John, Madeline melihat pria itu tampak kesulitan.
"John. Apakah kamu baik-baik saja?"
"...Air... Tolong beri aku air."
Madeline dengan cepat mengisi gelas dengan air dan menempelkan gelas itu ke bibir pria itu. Setelah John meneguk air dan mulai tenang, Madeline menopang tubuhnya.
"Apakah kamu baik-baik saja?"
Cemas, dia bertanya lagi. Pria itu, yang tubuhnya tampak lemah, mengedipkan mata dan berbisik.
"Aku bermimpi..."
"...!"
Mungkinkah? Madeline mendekatkan dirinya ke pria itu. John, yang masih meringis, melanjutkan ceritanya.
"...Di kereta... bersama ibuku..."
"Tolong ceritakan lebih lanjut."
Madeline mendengarkan dengan tenang.
"Hurst... Nama yang kuingat adalah Hurst."
Hurst. Apakah itu nama keluarga? Tentu saja, Madeline tidak mengenal nama itu. Namun, dia tetap tenang dan terus berbicara dengan pria itu.
John mulai bercerita tentang mimpinya. Itu hampir seperti cerita hidupnya, panjang dan penuh detail. Cerita seperti film, tentang menaiki kereta bersama ibunya, permen yang dibelikan ayahnya, momen singkat bersama seorang kekasih yang sangat dicintai, dan teman-teman seperjuangan yang namanya tak bisa ia ingat.
Seolah-olah seluruh hidupnya berlalu di depan matanya, seperti orang-orang yang berputar-putar di komidi putar.
"Mungkin semua ini hanya mimpi."
Pria itu meringis lagi, seolah-olah tenggorokannya kering. Madeline kembali mengisi gelasnya dengan air.
Suasana terasa sangat sepi. Seorang pria yang kehilangan ingatannya di tengah kegelapan dan seorang wanita dengan kenangan yang tidak diketahui siapa pun, duduk bersama. Mereka bertukar cerita yang mungkin benar, atau mungkin tidak.