Bab 72: Reuni Tak Terduga

12 3 0
                                    

Dengan rasa ingin tahu tentang apa yang sedang ia gumamkan, Madeline duduk di hadapan Holtzmann. Pria itu tiba-tiba mulai meracau, jelas sekali ia sedang mabuk.

“Aku ini pecundang. Apa pun yang kulakukan, aku tahu aku tak bisa mendekatinya…”

Rasanya seperti ia tanpa sengaja mendengar sesuatu yang seharusnya tak didengarnya. Madeline sedikit terkejut oleh pengakuan tak terduga dari orang asing itu.

“Kau sedang bicara tentang Isabel?”

Karena Madeline tak pernah melihat mereka bersama, rasanya kombinasi itu tak terbayangkan. Holtzmann yang ramah namun dangkal, dan Isabel yang eksentrik namun penuh semangat. Seperti sebuah planet jauh yang perlahan mengorbit matahari. Apakah pria ini merindukannya dari kejauhan seperti itu?

“Kami sudah akrab sejak kecil. Kau tahu. Kakek buyut kami dulu seperti sekretaris bagi keluarga Nottingham.”

Holtzmann mulai menyalakan rokok Lucky Strike dalam kondisi setengah sadar. Asapnya yang tajam mulai memenuhi ruangan.

“Bajingan Bolshevik itu seharusnya melindunginya.”

“Itu pilihan Isabel.”

“…”

Holtzmann tetap diam.

“Mungkin aku lancang, tapi… akan lebih baik kalau Isabel punya seseorang di sisinya di masa-masa tersulitnya.”

“Aku tak punya keberanian untuk maju. Aku tak ingin jadi bahan tertawaan. Terkadang, meski aku benci mengatakannya…”

Ia mematikan rokok itu dengan perlahan. Wajahnya menyiratkan rasa sakit, dan matanya menjadi semakin dingin.

“Ada saat-saat di mana aku berharap Ian Nottingham, tidak, Isabel Nottingham, lenyap begitu saja. Aku jijik pada diriku sendiri karena pernah punya pikiran seperti itu.”

Perasaan yang mungkin tak akan pernah diungkapkan jika ia tidak mabuk.

Madeline memandangi wajah pria itu dengan seksama. Ada campuran rasa rendah diri yang terpendam, dendam, dan obsesi.

Mungkin ia tidak memanggil Madeline hanya untuk membicarakan ini dengan dalih mabuk. Tapi Madeline merasa seperti telah melihat terlalu dalam ke dalam urusan pribadi orang lain. Bahkan demi menjaga sopan santun, ia harus pergi. Perlahan ia bergerak menuju pintu.

“Waktu berlalu seperti pasir di antara jari-jari, Tuan Holtzmann. Buatlah pilihan yang tidak akan kau sesali.”

Dia tidak lupa membawa selendangnya.

***

Setelah kelas, ketika jadwal kuliah khusus diumumkan, suasana kelas dipenuhi dengan kegembiraan yang tenang. Madeline mengemas alat tulisnya ke dalam tas. Ini adalah kesempatan istimewa yang diatur untuk mahasiswa keperawatan, jadi semua orang diminta hadir. Karena semester hampir berakhir, dia benar-benar ingin berhenti dari pekerjaannya di hotel. Dengan begitu, dia bisa pergi ke rumah sakit untuk praktik dan belajar lebih banyak. Dia sudah menabung cukup banyak uang, jadi dia tidak khawatir tentang kehidupannya, tapi hatinya gelisah karena hal lain.

Jika Ian pergi menemui Isabel, dia mungkin tidak akan kembali dalam waktu dekat. Bahkan jika dia kembali segera, Madeline tidak tahu jawaban apa yang bisa dia berikan. “Aku mencintaimu?” “Tidak apa-apa?” “Bagaimanapun rupa dirimu, aku tak masalah, aku bisa menerimanya?”

“Madeline.”

Yang memanggilnya tak lain adalah teman sekelasnya, Caroline. Caroline memandang Madeline dengan ekspresi khawatir.

“Madeline, apa kau mendengar apa yang dikatakan profesor?”

“Oh, ya.”

“Ayo ke ruang kuliah. Karena berada di gedung lain, kita harus bergegas agar tidak terlambat.”

Salvation EquationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang