Bab 42: Pria di Basement (1)

31 1 0
                                    

Malam semakin larut. Kegelapan merayap, dan para pasien tertidur. Hanya sedikit yang masih terjaga pada jam ini.

Dengan hati-hati, Madeline menyiapkan makanan. Ia membungkus daging babi rebus, roti kasar, dan sebotol anggur dalam termos, lalu menutupnya dengan kain. Menghindari suster jaga dan menahan langkahnya agar tak terdengar, ia turun ke basement. Pasti ada tangga lain yang menuju basement di balik ruang penyimpanan lantai pelayan yang biasanya ia lewati. Meski ia sudah tinggal di manor ini selama puluhan tahun, ia tak tahu semua lorongnya. Tempat itu begitu luas dan rumit.

Saat dipikirkan lagi, memang ada alasan di balik rumor-rumor yang terkait dengan manor terkenal ini dalam kehidupannya yang sebelumnya. Rumor tentang kutukan atau tempat berhantu.

"Mungkin saja aku mendapatkan hidup baru ini juga terkait dengan manor ini."

Madeline merinding.

Saat ia membawa termos menuju basement, ia menemukan seorang pria terbaring dengan sebuah lentera di sampingnya. Ketika suara langkahnya mendekat, pria itu bangkit seperti binatang buas yang terkejut dan mengarahkan senapan ke arahnya.

Senapan. Ya, itu benar-benar senapan. Pria yang mengarahkan senapan ke Madeline memiliki janggut yang mulai tumbuh di dagunya. Kulitnya agak kecokelatan, tetapi sulit untuk menebak garis keturunannya. Rambutnya yang keriting berwarna cokelat kusut, dan alisnya tebal.

Kalau bukan karena penampilannya yang lusuh dan mata tajamnya, pria itu bisa jadi cukup menarik. Tentu saja, mustahil baginya untuk memiliki perasaan baik terhadap pria itu. Hanya karena dia mengarahkan senapan...

"Aku tak menyangka ada senapan di tanganmu."

Satu sisi hatinya menjadi dingin, bukan hanya dingin tapi membeku. Ia memang ceroboh. Seharusnya ia memeriksa tangan pria itu lebih dulu. Madeline mengangkat kedua tangannya, menunjukkan telapaknya.

"Aku sudah bersusah payah membawamu ke sini. Rasanya tak adil jika aku ditembak mati."

Tentu saja, ia tak lupa untuk menyindir. Amarah lebih dominan daripada rasa takut. Karena pria ini, Isabel dan dirinya dalam bahaya!

Sudut bibir pria itu bergerak ragu-ragu. Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Kau... temannya Isabel?"

"Aku memang temannya Isabel, ya. Tapi itu tak berarti aku harus menjadi temanmu. Pertama, bisakah kau turunkan senapan itu?"

"..."

Pipi pria itu, yang tipis dan cekung karena kurang gizi, memerah karena malu. Saat ia menurunkan senapannya, Madeline mengambil termosnya lagi dan mendekatinya.

"Hanya untuk seminggu. Satu minggu saja. Setelah itu, tolong tinggalkan tempat ini."

Jika tidak, ia harus memberitahu yang lain tentang keberadaannya. Madeline serius.

"Aku tak berencana tinggal lama."

Pria itu berbicara dengan nada pahit, tiba-tiba meringis. Madeline segera mendekat, reflek sebagai seorang perawat. Ia dengan lembut membaringkannya di atas tumpukan jerami, lalu membuka kemejanya.

Ketika pria itu berusaha menutupi tubuhnya dengan pakaian, Madeline menepis tangannya dengan tegas.

"Jangan ganggu aku."

Ia memeriksa luka itu dengan tatapan tajam. Luka tusukan. Jika Isabel tidak bertindak cepat hari itu, pria ini mungkin sudah kehabisan darah meskipun sudah berada di ambang kematian. Madeline mengeluarkan perban bersih dari termosnya.

Meskipun gerakan Madeline mengganti perban sangat terampil, pria itu hanya bisa pasrah berbaring seperti dalam keadaan linglung.

"Kau... seorang perawat?"

Salvation EquationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang