Tempat duduk kelas satu menuju London benar-benar mewah dan nyaman. Madeline menikmati pemandangan yang berubah-ubah sambil menyeruput kopi hangat yang disajikan oleh kru.
Ian, yang duduk di seberangnya, sibuk menangani dokumen-dokumen. Tangan berlapis sarung tangannya dengan cepat membolak-balikkan kertas-kertas itu.
"Ian, tidak bisakah kamu istirahat sebentar selama perjalanan?"
Kapan dia jadi begitu gila kerja? Hanya seabad yang lalu, kerja adalah sesuatu yang dihindari oleh para bangsawan. Madeline menggoda, dan mata Ian muncul dari balik kertas-kertas itu.
"Aku tidak punya waktu setelah kita tiba... Aku tidak ingin memikirkan pekerjaan saat bersamamu."
"Ian, seandainya kamu belum tahu, aku ini masih ada di sini bersamamu."
Madeline mengangkat alisnya, menarik kepalanya sedikit ke belakang sambil menatap Ian.
"Lihat? Aku ada di sini."
Pada akhirnya, Ian harus menyerah.
"Baiklah."
Ian akhirnya mendorong dokumen-dokumen itu ke ujung meja, menunjukkan kedua telapak tangannya sebagai tanda menyerah.
"Jadi, apa yang ingin kamu lakukan dengan waktu berharga kita ini, Madeline Loenfield?"
Sikapnya yang santai mengingatkan pada dirinya yang percaya diri di masa lalu, namun ada perbedaan yang mencolok. Ian kini tampak lebih dewasa, lebih tenang.
"Yah, ada banyak cara untuk menikmati waktu kita. Bagaimana kalau main tebak pikiran?"
"Aku tidak begitu menarik."
"Bukan soal menarik. Ini permainan di mana kita menebak apa yang dipikirkan orang lain."
"..."
"Baiklah, aku mulai dulu. Aku akan mencoba menebak apa yang sedang kamu pikirkan. Tunggu sebentar."
Madeline menutup matanya, meniru gerakan peramal dengan kartu tarot, lalu membukanya dengan mata berbinar.
"Aku tahu. Kamu sedang berpikir untuk bertemu teman-teman di klub di London!"
Ian mengangkat alisnya.
"Atau mungkin kamu sedang memikirkan angka-angka di dokumen itu? Memikirkan bagaimana caranya menyiasati angka yang tidak cocok?"
"Salah."
"Atau mungkin, pikiran yang mengganggu karena ada Madeline Loenfield di depanmu?"
"Bukan itu."
Ian berpura-pura membalik kartu imajiner dan menatap Madeline.
"Aku sedang memikirkan Prancis."
"Prancis?"
Perang. Mata biru langit Madeline yang polos bertemu dengan mata hijau Ian yang melankolis. Dia bergumam.
"Saat aku di sana, aku bahkan tidak berani membayangkan momen ini, tapi sekarang aku bersyukur masih hidup."
Seolah merasa sedikit tidak nyaman, Ian mengalihkan pandangannya keluar jendela.
"..."
Itu adalah momen yang mengejutkan bagi Madeline. Suasana saat ini begitu santai dan menyenangkan, tetapi mendengar Ian berkata, "Aku bersyukur masih hidup," adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan.
"Masih akan ada banyak momen seperti ini di masa depan."
Madeline tersenyum santai.
"Seiring kita menjalani hari demi hari, hal-hal menyenangkan akan terus terjadi. Aku percaya itu."