Setelah keluar dari toko kacamata, mereka berdua berjalan-jalan sebentar menyusuri jalanan London. Madeline mengenakan gaun berwarna krem dengan syal berwarna lavender. Sebuah topi biru langit yang dihiasi pita sutra bersulam burung terikat rapi di kepalanya.
“Dunia ini begitu indah.”
Sejak memakai kacamata, Madeline terus saja mengoceh. Baginya, ini seperti memiliki mata baru. Bahkan sepanjang hidupnya, tidak pernah sejelas ini. Bagaimana bisa begitu? Pasti karena dia telah hidup terkurung tanpa menyadari bahwa penglihatannya memburuk.
Memikirkan betapa banyak keindahan yang terlewat, rasanya pahit, tetapi beruntung kini ia bisa melihat dengan jelas sekarang. Semua yang ada di sekitarnya terlihat begitu jelas dan nyata—lampu neon yang menghiasi jalanan London, para pria dengan tuksedo, dan wanita-wanita dengan potongan rambut pendek. Keindahan kota ini terbentang di depan matanya.
Madeline bergidik.
Tanpa disadari, waktu telah beranjak malam, dan mereka tiba di restoran yang telah dipesan Ian. Ian dan Madeline memesan menu yang sama, hidangan Prancis dengan nama panjang yang pada dasarnya adalah ayam dengan saus buah manis di sampingnya. Rasanya bersih dan sesuai dengan selera mereka.
Anggur yang menemani hidangan itu juga luar biasa, seolah menghangatkan tubuh mereka yang sedikit lelah.
Meskipun hari itu panjang, perasaannya sangat menyenangkan. Percakapan dengan pria di depannya juga terasa akrab. Ian mengangkat gelas anggurnya dengan tangan yang bersarung.
“Bagaimana? Apakah makanannya sesuai dengan seleramu?”
Suara rendah dan lembutnya diiringi oleh musik orkestra yang dimainkan. Madeline menyipitkan matanya dan tertawa pelan.
“Enak sekali. Rasanya seperti aku sudah menikmati London seperti ini selama lebih dari seratus tahun.”
“Itu baru lima tahun, bukan seratus.”
“Betul sekali. Rasanya lebih dari lima tahun sejak musim sosial terakhir. Tapi meskipun begitu, begitu banyak yang sudah terjadi. Rasanya seperti aku sedang belajar hidup kembali. Lebih tepatnya... rasanya seperti belajar hidup lagi dalam lima tahun terakhir. Tahun-tahun itu seperti semacam pendidikan untukku.”
Setelah beberapa gelas anggur lagi, suasana semakin mengendur. Mungkin karena atmosfernya. Alunan swing yang dimainkan orkestra, bisikan orang-orang di sekitar, dan pasangan-pasangan yang berdansa di aula—para wanita dengan gaun dari kain tipis dan lembut, dan pria-pria dengan setelan rapi. Itu adalah tarian mereka.
Dan di depannya, ada Madeline. Seorang wanita yang bersinar begitu terang di matanya, seolah menyerap semua cahaya di aula itu. Hanya dengan melihatnya saja, hatinya sudah terasa bahagia. Bukankah ini dunia yang layak dijalani kembali?
Ia berpikir tanpa sedikit pun rasa sinis.
Di dalam kereta dalam perjalanan pulang, mereka melanjutkan percakapan. Meskipun berada di kabin kelas satu, semua penumpang di belakang mereka sudah tertidur, jadi mereka harus berbicara dengan suara pelan. Tanpa sadar akan hal itu, Madeline berbicara dengan nada berbisik.
“Waktu aku kecil, seorang peramal Gipsi pernah datang ke rumah kami.”
“....”
“Dia membuka kartu-kartu dan membaca peruntungan. Aku masih sangat muda waktu itu. Aku ingat ibuku duduk di meja.”
Setelah Madeline melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja, ia menutup matanya.
“Anehnya, aku tidak ingat wajah ibuku yang sudah meninggal, tapi aku ingat dengan jelas wajah wanita tua itu. Dia bilang aku adalah anak yang sangat beruntung.”