Vote sebelum baca 🌟
Hujan tak kunjung berhenti. Mengguyur kota tanpa henti. Membatasi setiap pergerakan.
Alana dan kedua temannya terjebak di dalam cafe. Menunggu hujan reda. Terlalu bahaya jika menyetir di dalam situasi tersebut. Maka dari itu, lebih baik menunggu sejenak dibandingkan menerobos dan berakhir celaka.
Alana bertopang dagu, menatap air hujan yang membasahi kaca cafe dan menciptakan butiran-butiran kecil. Setiap tetesannya meluncur perlahan. Menciptakan pola acak nan indah di permukaan kaca.
Samar-samar terdengar suara perempuan membahas teori konspirasi tentang kematian seseorang. Alana diam-diam mendengarkan. Turut penasaran dengan isi video tersebut.
Perhatian Alana teralihkan kala Matthew memanggil namanya dengan lembut. "Kenapa, Matt?"
"Jalan yuk pas weekend?"
"Gak bisa. Gue mau buat skripsi." Alibi Alana di saat sebenarnya enggan berhubungan dengan Matthew lebih jauh. Alana takut luluh. Alana takut perasaannya semakin rumit.
"Biar gue bantuin. Gimana kalau buat skripsi di cafe ini?"
"Gue mau buat di rumah aja. Di rumah lebih tenang. Kalau di sini, gue gak bisa berpikir dan endingnya pasti gue leha-leha."
Matthew merenggut pelan mendengar alasan penolakan Alana. "Ya udah. Kapan Lo ada waktu luang?"
"Gak ada sih, gue selalu sibuk."
"Besok Lo bimbingan?"
"Enggak."
"Berarti bisa dong?"
"Sayangnya gak, besok gue mau marathon baca novel."
"Besoknya lagi?"
"Gue mau jalan sama Nasya, iya 'kan Nas?"
Nasya yang tiba-tiba dibawa ke dalam percakapan mengiyakan tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel.
Matthew menghela napas lesu. "Kenapa Lo menolak ajakan gue terus sih, Na?"
Alana pura-pura tidak mendengar dan malah mengajak Nasya mengobrol. "Nonton apa, Sya?"
"Ini loh. Teori konspirasi kematian sepasang kekasih. Ada yang berteori mereka disekap, disiksa, dan dibunuh sekelompok geng motor. Ada juga yang berteori itu cuma kecelakaan tunggal."
"Anehnya, masa butuh waktu bertahun-tahun untuk mengungkap alasan sebuah kematian? Dalam prosesnya pun, ada orang yang dituduh sebagai pelaku dan dipenjara bertahun-tahun. Selain itu, setelah diusut, kasus ini juga menyeret nama-nama orang penting dan sempat menggegerkan. Banyak netizen yang tertarik untuk mencari tahu kebenarannya. Netizen sampai minta bantuan capres dan petinggi negara. Masa, setelah semua itu berlalu, sepasang kekasih itu dinyatakan mengalami kecelakaan tunggal? Kemana aja pihak berwenang sampai gak bisa memastikan apapun? Siapa dong yang harus bertanggungjawab atas orang yang masuk penjara kalau seandainya mereka benar-benar gak bersalah?"
"Menurut Lo gimana, Na? Sebenarnya mereka dibunuh atau benar-benar mengalami kecelakaan?"
Nasya begitu menggebu-gebu saat menceritakan video yang ditontonnya.
"Lebih masuk akal sepasang kekasih itu dibunuh karena kasusnya sampai panjang dan berbelit-belit gitu."
Nasya menjentikkan jari bersemangat. "Nah kan!! Lebih masuk akal mereka dibunuh daripada mengalami kecelakaan biasa."
"Mungkin aja kasus mereka diakhiri untuk menutupi rahasia lainnya." Timpal Alana.
Nasya mengangguk setuju. "Menurut Lo gimana, Matt?"
"Entahlah. Gue gak peduli. Daripada mikirin itu, mending gue mikirin Alana."
"Dih, Alana terus pikiran Lo." Decak Nasya. "Jangan sampai Lo apa-apain Alana! Cinta boleh, nyakitin jangan."
Nasya sadar bahwa tatapan Matthew tak pernah lepas dari Alana sejak bergabung di meja mereka. Matthew selalu mengamati setiap gerakan kecil Alana. Matthew selalu tersenyum setiap kali melihat tingkah Alana.
Di mata Matthew tergambar kekaguman mendalam. Seolah tiada hal lebih menarik dibandingkan Alana. Seolah tiada hal lebih menyenangkan dibandingkan memperhatikan Alana.
Hal itu membuat Nasya yakin bahwa Matthew sangat mencintai Alana, bahkan mendekati titik obsesi.
"Tenang aja. Gue gak nyakitin Alana. Gue malah bertekad membahagiakan Alana." Tandas Matthew seraya mengecup punggung tangan Alana. Mengejutkan Alana sekaligus membuat Alana salah tingkah.
"Oh my eyes!! Dilarang mesra-mesraan di depan gue!"
****
Nasya turun dari mobil setelah berpamitan dengan Alana dan Matthew. Berlari kecil memasuki perkarangan kos berlantai dua.
Sementara itu, Alana mulai merasakan kecanggungan akibat ditinggal berdua bersama Matthew.
Alana tidak tahu harus berkata apa. Semua topik pembicaraan mendadak menguap dari otaknya. Otaknya blank. Menyisakan kegugupan.
"Pindah ke depan, Na. Gue berasa jadi sopir tau."
Alana terlonjak kaget kala Matthew mendadak menengok ke belakang.
"Emang wajah gue semenyeramkan itu sampai Lo kaget?" tanya Matthew gemas.
Alana memukul lengan Matthew kesal. Melampiaskan kekesalannya akibat dikejutkan.
"Iya. Wajah Lo menyeramkan. Lebih menyeramkan daripada hantu."
"Jahatnya. Sakit hati nih gue." Matthew berlagak terluka mendengar penuturan Alana.
"Gue bakal lebih sakit hati lagi kalau Lo tetap duduk di belakang."
Lantaran merasa tidak enak hati, Alana sontak berpindah ke kursi depan, tepatnya di samping Matthew.
"Nah, gini kan enak. Sekarang gue gak berasa jadi pak sopir lagi. Gue merasa jadi pacar Lo sekarang." Cengir Matthew manis.
"Buruan jalan. Gue mau pulang sekarang," sahut Alana sok kalem.
"Iya, tuan putri."
Matthew mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Memasuki jalan raya yang sangat padat mengingat sudah waktunya pulang bagi anak sekolahan dan orang pekerja kantoran.
"Dari dulu, gak ada yang berubah ya. Semuanya masih sama seperti dulu."
"Hmm?" Alana menoleh ke samping. Disambut tatapan lembut dan senyuman manis Matthew.
"Termasuk perasaan gue yang masih sama seperti dulu."
-oOo-
13/10/2024
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...