32. First Blow

49.2K 4.7K 104
                                    

Auryn menggerakkan tubuhnya sedikit sebelum membuka mata dan mendapati ruangan yang rasanya asing. Setelah mengerjap dan mengamati sekitar selama beberapa menit, barulah ia teringat kalau ini memang bukan kamar tidurnya.

Ia meninggalkan Mansion untuk mendapat ketenangan karena baginya, Mansion itu penuh dengan kenangan bersama Mike. Setidaknya ia memerlukan ruang untuk mengerti alasan Mike pergi. Tadi sampai detik ini, Auryn tidak bisa memikirkan alasan apapun selain karena dirinya yang egois meminta hal yang mustahil pada Mike.

Sekarang, bagaimana ia memberitahu orangtua dan keluarganya kalau dia yang telah membuat Mike pergi? Membuat matahari menyamar menjadi bintang? Membuat dirinya bahagia?

Mereka pasti kecewa.

Airmata Auryn kembali mengalir jatuh. Auryn menarik selimutnya dan menutupi seluruh wajahnya dengan harapan ia bisa meredam rasa sakit dan kecewanya akan dirinya sendiri, akan keputusan Mike, akan garis kehidupan mereka yang menyedihkan.

Denyit suara pintu membuat Auryn menelan isakkannya. Ia menyeka cepat airmatanya di dalam selimut dan kembali memejamkan matanya.

Ia tidak siap bercerita. Belum siap lebih tepatnya untuk melihat wajah kekecewaan siapapun atas perbuatannya membuat Mike pergi.

Auryn bisa merasakan selimut yang menutup wajahnya disibak perlahan. Ia masih tetap memejamkan matanya, berpura-pura terlelap agar ia tidak perlu bercerita akan kesedihannya, kegelisahannya, dan penyesalannya.

"What happen to you, Darling?"

Tubuh Auryn menegang begitu ia merasakan tangan hangat yang besar menyentuh pipinya, menyeka bekas airmatanya yang masih belum mengering. Suara berat Kakeknya tambah membuatnya merasa bersalah telah membuat orang-orang khawatir.

"Kau selalu bisa bercerita pada Grandpa. Kau tahu kalau Grandpa akan selalu membantumu, bukan?" Peter tahu cucu kesayangannya itu tidak sedang tidur. Ia bisa merasakan tubuh gadis itu bergetar.

Perlahan mata Auryn terbuka, mata berairlah yang dilihat Peter pertama kali dari mata Hijau yang sama seperti mata Istri tercintanya.

"Come here." Peter duduk di sisi kasur Auryn ketika gadis itu bangkit dari posisi tidurnya kemudian Peter menawarkan pelukan hangat yang ia tahu sangat diperlukan gadis itu saat ini. "Kenapa kau menangis?" Tanya Peter sambil mengusap lembut rambut Auryn.

Bukan jawaban Auryn yang Peter dengar, melainkan suara isakkan gadis itu. Suara isakkan yang terdengar memilukan bagi siapapun yang mendengarnya.

"I'm ready to listen. Anytime you're ready, Sweety." Tawar Peter tanpa maksud untuk memaksa.

"What should i do, grandpa...? what should i do...?" Lirihnya di tengah isak tangis yang masih terjadi.

"Kau harus menceritakan apa yang terjadi agar Grandpa bisa memberimu jalan keluar, Auryn." Ucap Peter tak kalah lirih. Hatinya seakan disayat mendengar cucunya menangis seperti ini. Peter tahu kalau sekarang Auryn memangis bukan karena ia dijahili Austin atau Alceo, atau karena boneka Barbienya di culik kedua laki-laki itu untuk dijadikan sandera dalam permainan robot-robotan mereka. Masalah kian pelik saat triplet mulai tumbuh besar dan dewasa seperti ini.

"Mike leaving." Auryn bergumam kecil. Ia sendiri bahkan masih tidak mau percaya.

"Grandpa sudah mendengarnya dari Mommymu tadi. Apa karena itu kau menangis dan kabur seperti ini? Karena Mike pergi?" Tanya Peter mencoba melihat ekspresi wajah cucunya, namun sulit dengan posisi Auryn yang menunduk di dadanya. Ia hanya bisa merasakan lembab di bajunya akibat tangisan Auryn yang belum berhenti, malah semakin deras.

Between the Line [#MFFS 2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang